Oleh: Abdur Rahman As’ari
Dosen Universitas Negeri Malang
PENDAHULUAN
Di
abad ke 21, orang harus memiliki kreativitas agar mampu menciptakan sesuatu
yang baru yang “unique” dan diperlukan oleh masyarakat lain. Dengan
kreativitasnya, seseorang akan dihargai dan diperlukan kehadirannya. Orang
tersebut akan memiliki daya tawar yang baik, dan memiliki peluang untuk
mendapatkan fasilitas yang diperlukan.
Di
abad ke 21, orang juga harus mampu berpikir kritis. Dengan kemampuan berpikir
kritis, dia mampu melihat sesuatu secara jernih. Orang tersebut tidak akan
mudah terkecoh dan terhindar dari segala tipu muslihat yang merugikan. Dia akan
mampu mengendalikan segala tindakan yang harus dilakukannya. Dia juga tidak
akan mudah terpancing emosinya, dan selalu mempertimbangkan keputusannya dari
berbagai sudut pandang.
Di
abad ke 21, orang juga harus mampu mengomunikasikan idenya dengan baik agar
orang lain mengerti dan mengakui pentingnya ide tersebut. Kalau pun seseorang
memiliki ide yang baik, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan
berkomunikasi yang baik, yang terjadi adalah orang lain tidak memahami betapa
pentingnya ide tersebut. Bahkan orang menerima idenya dengan salah dan menganggap
yang punya ide sebagai orang yang “kurang waras”. Dengan kemampuan
berkomunikasi yang baik, dia berpeluang mendapatkan dukungan (moril atau
materiil) yang memungkinkan idenya tersebut terealisasikan.
Di
abad ke 21, di mana pekerjaan sudah diarahkan sebegitu detailnya, kemampuan
kerjasama antara orang yang satu dengan orang yang lain akan sangat menentukan
keberhasilan suatu sistem. Tanpa bekerja sama dengan baik, keutuhan produk dari
perusahaan tersebut akan kurang baik dan kurang diminati masyarakat konsumen.
Karena itu, perusahaan-perusahaan besar multinasional sering menjadikan
kemampuan bekerjasama sebagai bahan utama seleksi calon pegawai unggulan.
Selanjutnya,
di abad ke 21, teknologi informasi dan komunikasi telah berkembang dengan
sangat pesat. Akibatnya, informasi banyak terserak di dunia maya. Hari ke hari,
informasi yang tersedia di dunia maya semakin banyak dan berlimpah. Apapun
informasi yang diperlukan oleh seseorang, ia akan dapat diperolehnya dengan
hanya menekan tombol-tombol komputer. Sayangnya, di samping informasi yang
valid dan bisa dipercaya, di dalam dunia maya tersedia juga informasi yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Orang harus mampu memilah dan
memilih informasi. Oleh karena itu, keterampilan melokalisir informasi yang
diperlukan, dan memilah serta memilih informasi yang tepat merupakan
keterampilan yang sangat diperlukan di abad ke 21 ini.
Masih
banyak lagi keterampilan-keterampilan lain yang diperlukan untuk bisa hidup
dengan layak di abad ke 21 ini. Asari (2014), mengutip pendapat Beers (tanpa
tahun), mengemukakan adanya beberapa keterampilan yang perlu dimiliki setiap
agar untuk bisa hidup dengan baik di abad ke 21. Keterampilan-keterampilan itu
adalah: (1) creativity and innovation skill, (2) critical thinking and problem
solving skill, (3) communication skill, (4) collaboration skill, (5)
information management skill, (6) effective use of technology skill , (7)
career and life skill, and (7) cultural awareness skill.
Menyadari
perlunya menyiapkan bangsa Indonesia yang mampu bersaing dengan baik di abad ke
21, atau bahkan dalam era masyarakat ekonomi terbuka yang akan segera datang (Masyarakat
Ekonomi Asean tahun 2015, dan masyarakat ekonomi Asia beberapa tahun berikutnya),
serta dimilikinya potensi keunggulan demografis dalam konteks 100 tahun
Indonesia merdeka, pemerintah memandang perlu untuk memiliki kurikulum yang
mampu mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut. Pemerintah menyadari
bahwa kurikulum hendaknya memuat kompetensi yang diturunkan dari kebutuhan
tersebut, bukan diturunkan dari kompetensi per mata pelajaran. Kurikulum
hendaknya dikembangkan berdasarkan kompetensi inti, bukan dari kompetensi
masing-masing mata pelajaran. Atas pertimbangan itu, pemerintah melalui Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya mengembangkan kurikulum baru, yaitu Kurikulum
2013. Dengan kurikulum 2013 ini, insan Indonesia diharapkan tumbuh dan
berkembang menjadi insan yang produktif, inovatif, kreatif, dan afektif (Kasim,
2014). Meskipun istilahnya tidak sama,
tetapi berdasarkan pendekatan pembelajaran yang dianut dan prinsip-prinsip
pembelajaran yang ditetapkan dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan,
penulis mengambil kesimpulan bahwa kurikulum 2013 juga diarahkan untuk
menjadikan rakyat Indonesia sebagai insan yang mampu bertahan hidup atau bahkan
mewarnai kehidupan di abad ke 21 ini.
PRINSIP PEMBELAJARAN DALAM K 13
Peraturan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomer 65 tahun 2013 (Kemdikbud, 2013),
pemerintah menetapkan beberapa prinsip yang harus dijadikan dasar dalam
melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Prinsip-prinsip pembelajaran yang
tertera dalam permendikbud no 65 tahun 2013 tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Dari peserta didik
diberitahu menuju peserta didik mencari tahu,
2.
Dari guru sebagai
satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar,
3.
Dari pendekatan tekstual
menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah,
4.
Dari pembelajaran
berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi,
5.
Dari pembelajaran
parsial menuju pembelajaran terpadu,
6.
Dari pembelajaran yang
menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya
multi dimensi,
7.
Dari pembelajaran
verbalisme meunju keterampilan aplikatif,
8.
Peningkatan dan
keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental
(softskills),
9.
Pembelajaran yang
mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar
sepanjang hayat,
10.
Pemberdyaan yang
menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarsa sung tuladha),
membangun kemauan (ing madya mangun karsa), dan mengembangkan kreativitas
peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani),
11.
Pembelajaran yang
berlangsung di sekolah, di rumah, dan di masyarakat
12.
Pembelajaran yang
menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa, dan
dimana saja adalah kelas,
13.
Pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas
pembelajaran, dan
14.
Pengakuan atas perbedaan
individual dan latar belakang budaya peserta didik.
Berdasarkan
prinsip-prinsip di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa beberapa ciri dari proses
pembelajaran di dalam Kurikulum 2013 adalah sebagai berikut.
1.
Menjadikan peserta didik
sebagai pebelajar yang belajar bagaimana belajar (learning
how to learn).
Pembelajaran hendaknya mendorong anak mencari tahu. Guru
hendaknya tidak memposisikan diri sebagai pemberi tahu. Guru harus mengubah
mindset mereka dari sebagai orang yang harus mentransfer ilmu kepada siswa.
Guru harus menganggap bahwa siswalah yang harus mengkonstruksi konsep, atau
prinsip. Siswa harus menjadi agen aktif dalam belajar. Karena itu, pembelajaran
aktif (active learning) adalah salah satu ciri utama yang dikehendaki oleh kurikulum
2013. Kalau ini berhasil, salah satu cirinya adalah siswa banyak bertanya, dan
giat mencari sendiri ilmu yang ingin dipelajarinya. Siswa tidak tidak menunggu
diberitahu oleh guru.
Meskipun demikian, guru tidak boleh semena-mena merespons
pertanyaan yang diajukan siswa. Guru harus tetap bijak, Jika siswa bertanya,
misalnya, “Pak/Bu... ini bagaimana?”, guru tidak boleh merespons pertanyaan itu
dengan mengatakan “cari sendiri”. Guru harus membantu mereka tanpa harus
menghilangkan kemandirian atau self regulasi belajar mereka. Respons “Hmmm
bagus sekali pertanyaan kamu ini... ok... mari kita pelajari bersama...
ini tentang apa? Kalau kita ingin
memperoleh jawaban dari ini, sumber informasi apa saja yang bisa kita
manfaatkan? Dimana? Bagaimana caranya memperoleh informasi tersebut? Alat apa
yang harus kita kembangkan? Kalau sudah bagaimana kita mengolahnya?
Menganalisisnya? Menafsirkannya? Dll” sebaiknya diberikan guru agar tidak
mematikan motivasi mereka. Guru harus pandai mengajukan pertanyaan yang tepat
yang memungkinkan peserta didik menyadari bahwa kalau mereka ingin tahu
sesuatu, mereka bisa menentukan langkah-langkah yang harus dilakukannya secara
mandiri. Mereka akan menjadi pebelajar yang mandiri.
2.
Pembelajaran hendaknya memanfaatkan
berbagai macam sumber belajar.
Di dalam era yang maju saat ini, kebenaran yang telah kita
terima dalam beberapa lama, bisa tidak berlaku lagi. Ilmu pengetahuan dan
teknologi telah berkembang begitu pesat. Apa yang kita anggap benar beberapa
waktu yang lalu, bahkan beberapa detik yang lalu, bisa saja menjadi tidak benar
lagi. Karena itu, guru yang menempatkan
diri sebagai sumber belajar, sebenarnya sudah tidak pada tempatnya lagi. Ilmu
yang dimiliki guru itu bisa jadi sudah tidak up to date lagi. Ilmu tersebut
sudah tidak diterima lagi kebenarannya oleh masyarakat.
Di samping itu, dengan perkembangan teknologi yang ada,
spesialisasi suatu pekerjaan menjadi makin berkembang. Akibatnya, guru sering
menjadi tidak mampu lagi membayangkan detail pekerjaan yang harus dilakukan
oleh profesi tertentu. Karena itu, menggunakan profesional itu sendiri sebagai
sumber belajar, jauh lebih baik daripada menggunakan pengetahuan guru itu saja.
Jadi, dengan memanfaatkan sumber belajar yang beraneka,
informasi yang diterima siswa akan lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.
3.
Pembelajaran hendaknya tidak
diarahkan hanya kepada pemahaman tekstual.
Pembelajaran tidak harus meminta anak membaca teks. Anak
diharapkan bisa belajar dari mengamati peristiwa yang terjadi di sekitarnya,
memikirkan ciptaan Tuhan, bertanya kepada pakar, atau melakukan percobaan.
Karena itu, peserta didik harus dibantu memahami kaitannya dengan konteks dan
memanfaatkannya sebagai bahan berpikir dan bertindak. Pembelajaran bukan hanya
untuk menghafal kata-kata, kalimat, atau pernyataan yang dianggap penting.
4.
Pembelajaran hendaknya
lebih diarahkan kepada pengembangan kemampuan berpikir.
Pembelajaran hanya untuk menguasai konten dengan kemajuan
jaman yang ada saat ini kadang sudah tidak ada gunanya lagi, atau setidaknya
kurang menjadi fokus lagi. Pembelajaran untuk memahirkan anak menguasai
hitung-hitungan, baik yang sederhana atau bahkan yang rumit sekalipun, misalnya
penghitungan integral lipat tiga, saat ini tidak terlalu diperlukan lagi.
Beberapa waktu yang lalu, penulis memperoleh software yang bisa menjawab
masalah integral lipat tiga yang rumit dengan mudahnya. Hanya dengan memasukkan
rumus fungsi dan batas-batasnya, software tersebung langsung menampilkan
jawaban yang diminta. Bahkan, bukan hanya jawaban akhirnya, tetapi juga proses
penyelesaiannya, mulai dari tahap pertama sampai terakhir.
Karena itu, pembelajaran yang mengembangkan keterampilan
berpikir tingkat tinggi, dan proses berpikir matematis jauh lebih penting
daripada sekedar belajar matematika. Kemampuan berpikir yang terkembangkan akan
transferable daripada sekedar penguasaan konsep matematika itu sendiri.
Sebagai contoh, ketika anak diminta untuk menjawab: “berapa
banyak persegi panjang yang bisa kita temukan pada grid 5 x 5?”, orientasi pembelajaran
hendaknya tidak dibatasi kepada bagaimana membantu siswa menemukan jawabannya
dengan cepat dan tepat. Pembelajaran hendaknya membantu siswa mengalami proses
berpikir matematis yang “transferable” dalam kondisi apapun, yakni: clarifying,
sorting and classifying, encoding, representing, comparing and contrasting, counting,
drawing a formula, generalizing, and confirming (Asari, 2014b).
5.
Pembelajaran hendaknya
membantu siswa menemukan keterkaitan antar fakta.
Pembelajaran hendaknya mendorong terbentuknya pemahaman yang
bermakna. Ketika seorang calon guru belajar tentang konsep “permutasi”,
misalnya, di teori peluang dan di struktur aljabar, makna permutasi di dua mata
pelajaran itu harus bisa dijelaskan kaitannya. Kalau mereka menggunakan istilah
yang sama, tentu ada alasan yang bisa dikemukakan. Peserta didik harus dibantu
untuk melakukan defragmenting
terhadap kumpulan informasi/konsep/prinsip yang ada di dalam kognisinya. Peserta
didik harus dibantu untuk mengaitkan informasi yang baru dipelajari dengan
informasi yang telah ada di dalam kognisinya. Inilah yang dikenal dengan
istilah meaningful learning (Novak, 2011)
6.
Pembelajaran hendaknya
difokuskan kepada pengerjaan soal-soal yang bersifat open-ended.
Soal yang bersifat open-ended memberikan kesempatan kepada
setiap peserta didik untuk berkontribusi sesuai dengan kemampuannya. Kesempatan
ini membantu mereka menjadi lebih percaya diri dalam belajar. Mereka mungkin
akan memiliki sikap dan persepsi yang baik yang oleh Marzano & Pickering
(1999) disebut sebagai dimensi pertama dalam belajar.
Beberapa contoh soal yang open ended, misalnya:
a.
Temukan 4 bilangan
berlainan yang hasil operasinya sama dengan 10.
b.
Kalau ruangan kelas mau
direnovasi secara menyeluruh, total anggaran yang diperlukan adalah
Rp15.000.000,- Tetapi, karena anggaran yang tersedia hanya Rp7.000.000,- bagian
mana saja yang perlu direnovasi dan seperti apa hasil renovasinya nanti?
Ketika peserta didik mengerjakan soal a di atas, mungkin dia
akan menemukan fakta bahwa 1 + 2 + 3 + 4 = 10. Maka, empat bilangan yang
dimaksudkan dalam soal itu antara lain adalah 1, 2, 3, dan 4. Akan tetapi,
kalau kita cermat, kita bisa membantu peserta didik untuk mengembangkan
strategi tertentu. Misalnya, 1 dan 2 tetap dipertahankan, tetapi 3 + 4 harus
diganti dengan bilangan lain dan menggunakan operasi yang lain. Bentuk 3 + 4
ini diminta untuk diganti dengan hasil operasi dua bilangan selain 1 dan 2,
misalnya 10 – 3, 11 – 4, 12 – 5. Peserta didik juga bisa menggunakan bilangan
yang lain, misalnya 21 : 3, 28 : 4, 35 : 5 dan lain sebagainya. Pengalaman
menemukan pola ini akan sangat bermanfaat bagi peserta didik.
Hal yang sama juga terjadi ketika peserta didik diminta
untuk memecahkan masalah b. Mereka bisa memilih berbagai alternatif bagaimana
mereka harus merenovasi dengan kondisi keuangan yang ada. Mereka bisa
memutuskan untuk membeli cat tembok A atau tidak mengubah catnya sama sekali.
Mereka bisa saja mengganti desain interiornya saja dan tidak mengganti bentuk
tampilan dari pintu atau jendelanya. Tentu banyak alternatif yang bisa diambil,
tetapi mereka harus tetap dilatih untuk bertanggung jawab terhadap keputusan
yang dibuat.
7.
Pembelajaran hendaknya
mendorong terbentuknya keseimbangan antara softskills (keterampilan
mental) dan hardskills (keterampilan fisik).
Keseimbangan fisik dan mental adalah kondisi yang diinginkan
oleh setiap orang. Siapapun kita pasti menginginkan agar kita sehat jasmani dan
rohani sekaligus. Kita tidak menginginkan peserta didik yang sehat jasmani
tetapi rohaninya buruk. Kita juga tidak menginginkan peserta didik yang
rohaninya baik tapi fisiknya buruk. Keseimbangan dari keduanya adalah yang
ideal. Peserta didik diharapkan sehat baik jasmani maupun rohani. Peserta didik
diharapkan memiliki keterampilan motorik yang baik, tetapi juga memiliki
keterampilan berpikir dan berolah rasa yang baik pula.
8.
Pembelajaran hendaknya mempertimbangkan
variasi latar belakang, minat, dan kemampuan peserta didik.
Pembelajaran harus diarahkan untuk kepentingan semua peserta
didik, bukan hanya sebagian besar. Pembelajaran harus dilakukan dengan kaidah
differentiated instruction (Tomlinson, 2001). Karena itu, pembelajaran kepada
anak yang kurang mampu harus berbeda dengan pembelajaran kepada anak yang
sangat mampu. Kalau memungkinkan, guru seyogyanya membuat beberapa skenario
pembelajaran dalam setiap pertemuan tatap muka. Guru perlu menyediakan
alternatif pembelajaran untuk kelompok siswa tertentu, dan alternatif
pembelajaran lain untuk kelompok siswa lainnya. Jadi, pembelajaran disesuaikan
dengan kondisi peserta didik. Pembelajaran tidak bersifat “one fit for all”.
9.
Pembelajar (Guru) harus
mampu memposisikan dengan baik sesuai dengan prinsip pembelajar menurut Ki
Hajar Dewantara.
Salah satu prinsip pembelajaran yang diajarkan oleh Ki Hajar
Dewantoro adalah: “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri
handayani”. Dari ajaran ini, guru harus bisa membedakan kapan dan bagaimana
bertindak.
Pertama, ing ngarsa sung tuladha. Prinsip ini menunjukkan bahwa guru
harus mampu menjadi model ketika dia memimpin peserta didik. Ketika memiliki
ide baru, guru tidak boleh hanya sekedar mengatakannya. Guru harus mampu
memberikan contoh tauladan untuk ditiru oleh peserta didik.
Kedua, ing madya mangun karsa. Prinsip ini menunjukkan bahwa
ketika guru mendampingi siswa, guru harus mampu membantu siswa mengembangkan
kehendak atau keinginan, terutama keinginan tahu.
Ketiga, tut wuri handayani. Prinsip ini menunjukkan bahwa ketika guru
sudah memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan belajar, guru
harus mampu membantu siswa memiliki rasa percaya diri. Siswa harus dibantu
memiliki persepsi bahwa mereka bisa, mampu, dan sanggup melakukan tugas yang
diamanahkan kepadanya dengan sebaik mungkin.
Hal di atas memberikan petunjuk bagaimana profil guru
Indonesia yang seharusnya. Dia harus bisa menjadi model, motivator, dan memberi
kesempatan.
10.
Setiap orang adalah guru
dan juga siswa sekaligus.
Guru pun harus tetap menempatkan diri sebagai pebelajar.
Guru harus terus belajar. Guru harus terus belajar sepanjang hayatnya. Dengan
prinsip ini, guru akan mampu membantu peserta didik belajar. Bukan dalam artian
guru mentransfer ilmu kepada muridnya, tetapi guru menyediakan lintasan
pengalaman belajar yang lebih baik bagi peserta didiknya.
Sementara itu, peserta didik juga harus menyadari bahwa
konstruksi pengetahuan yang mereka miliki bisa jadi tidak dimiliki oleh orang
lain, termasuk guru sekalipun. Karena itu, peserta didik juga bisa menjadi
guru. Peserta didik bisa saja menjadi tutor bagi teman sebaya mereka, atau
bahkan bisa menjadi nara sumber di dalam kelasnya. Pengalaman dan hasil
belajarnya yang bersifat “unique” memungkinkan peserta didik membagikan ilmunya
kepada warga kelas atau bahkan warga sekolah yang lain.
11.
Pembelajaran bisa
berlangsung tanpa mengenal tempat.
Pembelajaran bisa berlangsung di dalam kelas, tetapi bisa
juga berlangsung di halaman sekolah, di kantin, di pasar, di dapur, dan di mana
saja. Karena itu, guru tidak boleh membatasi darimana siswa belajar sesuatu.
Guru harus menyadari bahwa siswanya bisa saja belajar dari selain dirinya. Mereka
bisa belajar dari menjelajah dunia maya, bertanya kepada kakak atau saudaranya,
kursus di bimbingan belajar, melakukan percobaan sendiri di luar kelas, dan
lain sebagainya. Yang paling penting adalah bagaimana proses berpikir dan
bernalar yang dilalui sehingga konsep atau prinsip yang dimiliki sebagai hasil
belajar itu bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu, guru harus bersifat permisif
bahkan mendorong peserta didik untuk belajar secara mandiri, menjadi
self-regulated learners.
12.
ICT dalam pembelajaran
hanya sebagai alat.
Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi,
penggunaan ICT dalam pembelajaran tentu tidak bisa diabaikan. Akan tetapi,
pemanfaatan ICT ini hendaknya dimaksudkan sekedar untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas pembelajaran. Pembelajaran dengan
ICT harus dibedakan dengan pembelajaran tentang
ICT. Pembelajaran di sekolah pada umumnya hendaknya dimaknai dengan
pembelajaran dengan ICT, bukan tentang ICT.
ISYU PENTING PEMBELAJARAN DALAM KURIKULUM 2013
Berdasarkan
prinsip-prinsip pembelajaran di atas, maka pemerintah menerapkan pendekatan
saintifik sebagai pendekatan yang harus diterapkan dalam kurikulum 2013.
Pembelajaran semua mata pelajaran harus diarahkan agar siswa melakukan 5M,
yaitu: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan
mengomunikasikan. Pembelajaran yang memungkinkan terjadinya pemberian jawaban
yang bervariasi juga sangat disarankan. Karena itu, model-model pembelajaran
yang memanfaatkan unsur-unsur dalam 5M dan open-ended, seperti Problem-Based
Learning (PBL), Project-Based Learning (PjBL), dan Discovery Learning (DL) sangat
disarankan untuk diterapkan dalam kurikulum 2013.
Namun
demikian, penerapan model-model pembelajaran tersebut menuntut ketekunan dan
kesabaran, serta pemahaman yang baik tentang PBL, PjBL, maupun Discovery
Learning. Kalau ingin menerapkan PBL, guru harus pandai memilih masalah
otentik/ realistik yang membuat mereka tertarik dan tertantang untuk
menyelesaikannya. Tidak semua masalah, bisa dijadikan dasar untuk penerapan
PBL. Masalah yang pantas untuk dijadikan dasar dalam penerapan PBL adalah
masalah yang otentik dan lintas disiplin (Asari, 2013; Jonassen, 2011, Jonassen
& Hung, 2008).
PBL
juga biasanya memerlukan waktu yang lebih dari sekedar 1 atau 2 kali tatap
muka. Mereka harus merumuskan masalahnya, mengidentifikasi berbagai macam cara
yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah tersebut, mengambil keputusan
tentang cara mana yang akan ditempuh, melengkapi bahan dan perlengkapan yang
diperlukan untuk memecahkan masalah, mengumpulkan data-data yang diperlukan
untuk merangkai langkah penyelesaiannya, memeriksa kebenaran proses dan
hasilnya, dan memutuskan jawaban dari masalah tersebut. Semua itu dilakukan
sendiri oleh siswa, bukan oleh guru. Ini akan memakan waktu yang cukup lama.
Karena itu, sebaiknya, penerapan PBL ini melibatkan beberapa mata pelajaran
sekaligus. Guru-guru dari beberapa mata pelajaran saling bekerja sama,
merancang masalah dan menentukan tagihan sesuai dengan bidangnya.
Kalau
mau menerapkan PjB, guru juga harus pandai memilih proyek yang layak dan
menarik dikerjakan siswa. Seperti halnya PBL, pada saat mengikuti PjBL, siswa
harus aktif menentukan sendiri seperti apa produk dari proyek yang akan
dilakukan, langkah-langkah apa yang akan dilakukan, bahan apa saja yang diperlukan,
serta penataan waktu dan tempat pengerjaannya. PjBL juga tidak bisa
diselesaikan hanya dalam 1 atau 2 kali tatap muka.
Kalau
mau menerapkan Discovery Learning, guru harus pandai-pandai merekayasa masalah,
dan mendorong siswa berambisi untuk menemukan jawabnya. Guru harus pandai
menahan diri untuk memberitahukan apa yang akan dipelajari siswa. Guru harus
pandai menahan dari dari menyebutkan konsep atau prinsip yang akan dipelajari
siswanya. Karena itu, kalau guru di awal pembelajaran sudah menyebutkan tujuan
pelajarannya, ada peluang siswa menebak-nebak tanpa melakukan asosiasi. Karena
itu, menurut hemat penulis, ketika menerapkan Discovery Learning, guru mungkin
harus tega untuk tidak memberitahukan materi atau tujuan pembelajarannya.
HAL LAIN
Di samping
penerapan model-model pembelajaran seperti tersebut di atas, ada beberapa hal
teknis yang perlu juga diperhatikan oleh guru. Hal-hal teknis ini justru
merupakan penentu keberhasilan penerapan pembelajaran yang menggunakan
pendekatan saintifik. Beberapa hal teknis tersebut antara lain adalah:
1.
Seni mempresentasikan
bahan pengamatan
2.
Seni mendorong anak
untuk mau dan mampu menanya
3.
Seni mendampingi anak
yang sedang mengerjakan tugas yang guru berikan
Seni
mempresentasikan bahan pengamatan.
Bagaimana
seorang guru mempresentasikan bahan pengamatan sangat menentukan respons siswa.
Mimik muka dan gesture yang mengiringi penyajian bahan pengamatan akan
menentukan seberapa intens siswa tumbuh rasa ingin tahunya.
Perintah
“amati gelas berikut” secara langsung yang
mengharapkan siswa mengamati secara cermat akan berbeda dampaknya dengan
perintah yang didahului dengan kegiatan guru “memiring-miringkan badannya
sambil menempatkan gelas agak tinggi di atasnya, dengan posisi dinamis”.
Seni
mendorong peserta didik agar mau dan mampu menanya.
Kemauan
dan kemampuan anak menanya tidak bisa diharapkan dengan sendirinya. Guru harus
memiliki seni untuk mengembangkan kemauan dan kemampuan menanya tersebut.
Permintaan “Ada pertanyaan?” seringkali disambut dengan hening saja oleh para
siswa. Mereka takut disalahkan kalau mengajukan pertanyaan. Mereka takut
ditanya ulang kalau mengajukan pertanyaan. Ada banyak hal yang telah
menyebabkan anak tidak mau dan tidak mampu menanya, terutama mengajukan
pertanyaan yang bersifat investigatif.
Membiasakan
anak dengan “sarapan menanya”, melengkapi pertanyaan yang dimulai dengan
kata-kata “Bagaimana kalau ...”, “Bagaimana kalau tidak ....” merupakan dua
cara yang bisa dicobakan. Meminta anak mengembangkan kalimat tanya yang memuat
dua atau tiga kata juga bisa dipraktikkan. Terakhir, mendaftarkan beberapa
pertanyaan, dan menganalisis untuk menentukan skala prioritas urutan pertanyaan
yang harus diajukan juga merupakan seni yang baik untuk dicobakan.
Seni
mendampingi peserta didik ketika mereka menjalankan tugas.
Tugas
yang diberikan guru untuk dilakukan siswa merupakan aspek penting dan utama
dalam belajar. Pengalaman menunaikan
tugas itu menentukan kualitas belajar yang dialami siswa. Karena itu, kualitas
tugas harus dirancang sebaik mungkin.
Akan
tetapi, ketika siswa mengerjakan tugas, guru tidak boleh duduk diam dan
membiarkan siswa mengerjakan sendiri sesuai dengan kemampuannya. Kalau itu
terjadi, maka menurut Chaiklin (2003) terkait dengan teori ZPD (Zone of
proximal development), siswa hanya akan sampai kepada tingkat kemampuan
aktualnya. Tapi, kalau guru mendampingi mereka, dan memberikan bantuan (scaffolding)
yang sesuai dengan yang diperlukan, mereka berpeluang untuk sampai kepada
kemampuan idealnya.
ZPD
antar siswa yang satu dengan siswa yang lain bisa tidak sama luasnya. Karena
itu, scaffodling atau bantuan antara siswa yang satu dengan siswa yang lain
harusnya juga tidak sama. Pendampingan dalam rangka scaffolding untuk siswa
dengan kemampuan yang lemah/kurang harus dibedakan dengan scaffolding untuk
siswa dengan kemampuan yang sedang, apalagi untuk siswa dengan kemampuan yang
tinggi. Yang penting, scaffolding itu sebaiknya diarahkan untuk mencapai
potensi ideal mereka. Memang kita tidak tahu, tetapi kita harus terus menantang
siswa untuk mengembangkan potensinya sampai batas dimana mereka sudah tidak
mampu berkembang lebih jauh lagi (saat itu).
PERAN DAN TANGGUNGJAWAB KEPALA SEKOLAH atau PENGAWAS
Kepala
Sekolah atau terutama pengawas adalah pembina para guru. Baik buruknya kinerja
seorang guru adalah tanggungjawab guru. Karena itu, kepala sekolah dan pengawas
yang baik seharusnya peduli terhadap kinerja gurunya.
Dalam
rangka itu, agar penerapan kurikulum 2013 ini berjalan dengan optimal, ada
beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Kepala Sekolah dan Pengawas.
1.
Kepala Sekolah atau Pengawas
perlu menetapkan indikator penerapan kurikulum 2013 yang bermutu. Akan lebih
baik, kalau penetapan indikator ini dilakukan secara partisipatif dengan guru
binaan mereka. Indikator itu setidak-tidaknya memuat kualitas penugasan yang
diberikan guru, kemauan dan kemampuan siswa menanya, dan kualitas pendampingan
yang dilakukan guru ketika siswa mengerjakan tugas yang diberikan guru.
2.
Kepala Sekolah atau
Pengawas mengembangkan instrumen untuk mengukur tingkat ketercapaian indikator
penerapan kurikulum 2013 yang bermutu itu. Ini untuk memudahkan proses
penilaian terhadap kualitas penerapan Kurikulum 2013. Tentu saja, instrumen
yang dikembangkan secara partisipatif akan lebih baik daripada ditetapkan
sepihak oleh Kepala Sekolah dan Pengawas.
3.
Kepala Sekolah atau
Pengawas mengumpulkan data tentang penerapan kurikulum 2013 dan
mengomunikasikannya kepada guru binaan. Akan lebih baik, kalau pengomunikasian
ini ditindaklanjuti dengan rencana pendampingan atau supervisi yang manusiawi,
yaitu pendampingan yang bersifat kolegial, dan konstruktif.
4.
Kepala Sekolah atau Pengawas
melakukan pendampingan dengan memberikan bimbingan teknis tentang hal-hal yang
mungkin bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pendampingan
ini boleh dilaksanakan sendiri oleh Kepala Sekolah dan Pengawas tersebut atau
dengan mengundang guru pendamping atau nara sumber lain yang lebih kompeten.
5.
Guru menerapkan lagi
hasil pendampingan (mungkin akan lebih baik kalau diiikuti oleh Kepala Sekolah atau
Pengawas) sehingga terjadi team teaching yang mencegah “blaming” kepada guru.
6.
Kepala Sekolah atau Pengawas
bersama-sama dengan guru mengadakan konferensi/pertemuan untuk mengadakan
refleksi dan penyusunan rencana perbaikan berikutnya.
Hal-hal
di atas membantu guru mengembangkan kemampuan mereka untuk menerapkan
pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013. Namun demikian, di
republik ini, penerapan suatu inovasi itu seringkali bersifat “hangat-hangat
tahi ayam”. Di awal tahapan terlihat asyik dan bersemangat, tapi dalam waktu
tidak terlalu lama, guru tersebut segera mengalami kebosanan dan cenderung kembali
ke bisnis semula, yaitu ceramah. Untuk itu, kepala sekolah atau pengawas harus
memiliki banyak kiat untuk membantu guru tetap memiliki semangat tinggi membelajarkan
seperti tuntutan kurikulum 2013.
Penulis
memiliki seorang teman yang pengalaman dan kiat-kiatnya patut dijadikan
pertimbangan. Beliau pernah menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah di
gunung yang sebelumnya dikenal sebagai sekolah 8-10. Artinya, pembelajaran di
sekolah itu dimulai pukul 8 dan pulang pukul 10. Beliau mengerahkan seluruh
tenaga dan pikiran, antara lain mengadakan kunjungan ke rumah-rumah orang tua,
mengenalkan program DEAR (drop everything and read), menjalankan program MBS
(Manajemen Berbasis Sekolah) dan PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan
Menyenangkan). Dengan kerja kerasnya, sekolah itu akhirnya menjadi maju.
Pembelajaran secara rutin dimulai pukul 06.15 (mulai dengan DEAR), dan diakhiri
pukul 12.30. Tidak jarang, sore harinya para siswa masih datang ke sekolah,
belajar beberapa keterampilan tangan dari orang tua yang secara suka rela
melatihnya.
Teman
ini juga menceritakan bahwa kadang-kadang guru jenuh dalam menjalankan praktik
yang baik, dan berusaha kembali ke praktik yang lama, yaitu ceramah. Untuk itu,
beliau mengembangkan beberapa kiat, yaitu: flexidi (pembelajaran di kelas
divideokan, dan kemudian sambil santai-santai di suatu tempat, video itu
ditayangkan dan guru diminta untuk melakukan refleksi diri), in house training
(kepala sekolah mengadakan workshop dimana guru-guru untuk mengembangkan
inovasi pembelajaran), dan rekayasa kunjungan sekolah lain. Terkait dengan
rekayasa kunjungan sekolah lain ini adalah dalam rangka membantu guru memiliki
kebanggaan diri bahwa bahwa yang dilakukannya itu merupakan sesuatu yang
penting bagi guru lain di sekolah lain. Dengan rekayasa tersebut, guru di
tempat lain berkesempatan untuk belajar sesuatu yang bagus, dan guru di tempat
kepala sekolah itu bekerja juga tetap mempertahankan praktik yang baik.
Dengan
demikian, kepala sekolah atau pengawas dituntut untuk kreatif memiliki kiat-kiat
khusus dalam membantu guru baik untuk memahami pembelajaran yang sesuai dengan
tuntutan kurikulum 2013, serta kiat khusus untuk memelihara momentum dan
mencegah guru kembali ke praktik pembelajaran yang tidak sesuai dengan tuntutan
kurikulum 2013.
KALAM AKHIR
Semoga
sumbangsih pemikiran ini memberikan inspirasi tentang bagaimana kita menerapkan
kurikulum 2013 dengan baik. Yang penting, kita harus yakin bahwa “tidak ada
yang tidak mungkin di dunia ini”. Kita harus yakin bahwa kita pasti bisa menjalankan
kurikulum 2013 dengan baik.
Ada
satu hal lagi. Prinsip pembelajaran yang kita bahas di atas, sebenarnya tidak
mengenal nama kurikulum. Apapun kurikulumnya, prinsip-prinsip pembelajaran di
atas tetap berlaku. Sepanjang paradigma pembelajaran yang kita pegang adalah
paradigma konstruktivistik, mau apapun kurikulumnya, prinsip-prinsip
pembelajaran di atas masih tetap berlaku.
Terakhir,
sebagai abdi negara dan guru yang baik, kita bisa mengibaratkan diri ini
sebagai tukang cukur. Apapun model cukuran yang diinginkan, kita harus
mengupayakannya. Kita juga bisa diibaratkan sebagai tukang jahit. Mau model
jahitan seperti apapun, kita harus siap dan mampu menyenangkan orang yang
memesan jahitan kepada kita. Karena itu, terkait dengan isyu perubahan kurikulum
2013 setelah pergantian menteri pendidikan dalam kabinet yang akan datang ini,
kita harus terus menyiapkan diri belajar melaksanakan pembelajaran dengan
paradigma apapun (behavioristik, kognitivistik, konstruktivistik, atau
paradigma lain yang baru ditemukan). Kita harus mampu menguasai prinsip
pembelajaran yang ada di dalam masing-masing paradigma tersebut, dan mewujudkan
pembelajaran yang sesuai dengan prinsip tersebut.
Kita
tidak perlu gelisah dengan pergantian menteri. Semoga kita selalu sukses
mendidik anak bangsa ini dengan optimal. Semoga bangsa Indonesia menjadi bangsa
yang besar yang subur, makmur, aman dan tenteram dan menjadi bangsa unggulan.
Semoga
sukses.
RUJUKAN
Asari,
A.R. 2013. Pembelajaran Berbasis Masalah
dalam Pelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional
Himpunan Mahasiswa Vektor, Jurusan Matematika FMIPA UM, September 2013.
Asari,
A.R. 2014a. Mengerjakan soal latihan
matematika: hanya agar terjawab dengan cepat dan akurat? Makalah disajikan
dalam Seminar Nasional Matematika dengan tema “Innovations in Mathematics
Education toward Asian Community”. Jakarta: Universitas Prof. Dr. Hamka. 20
September 2014-09-23
Asari,
A.R. 2014b. Helping students experiencing
mathematical thinking. Paper presented in International Workshop on Graph
Masters and Seminar on Mathematics Education and Graph Theory. UNISMA: 7 – 9
Juni 2014
Beers,
S.Z. tanpa tahun. 21st century
skills: preparing students for their future. STEM
Chaiklin,
S. 2003. The zone of proximal development in Vygotski’s analysis of learning
and instruction. In Kozulin, A., Gindis, B., Ageyev, V,. Miller, S. (eds). Vygotsky’s Educational Theory and Practice
in Cultural Context. Cambridge: Cambridge University Press.
Jonassen,
D. 2011. Supporting Problem Solving in PBL. Interdisciplinary
Journal of Problem-Based Learning. Volume 5,No. 2. pp. 94 - 112
Jonassen,
D. & Hung, W. 2008. All Problems are Not Equal: Implications for
Problem-Based Learning. Interdisciplinary
Journal of Problem-Based Learning. Volume 2, No. 2 pp. 6 - 28
Kasim,
M. 2014. Implementasi Kurikulum 2013.
Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Bidang Pendidikan. Disajikan
dalam Workshop Penyegaran Nara Sumber Nasional Pelatihan Kurikulum 2013. Banten: Hotel Yasmin, Tangerang, 15
April 2014.
Kemdikbud.
2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan No 65 tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan
Marzano,
R.J. & Pickering, D.J. 1999. Dimensions
of learning: Teacher’s manual. Alexandria, VA: ASCD
Novak,
J. 2011. Theory of education: meaningful learning underlies the constructive
integration of thinking, feeling, and acting leading to empowerment for
commitment and responsibility. Meaningful
Learning Review, VI(2), 1 – 14.
Tomlinson,
C.A. 2001. How to differentiate
instruction in mixed ability classrooms. 2nd edition Alexandria,
VA: ASCD
I completely agree with the conclusions of the author, try proposal paper since they are clear and understandable based on the principles that were voiced earlier before.
BalasHapus