•  Pada postingan berikut ini Penulis akan melampirkan Soal dan Pembahasan OSN Matematika SMP Tingkat Provinsi 2018, dimana pada postingan sebelumnya Penulis telah melampirkan Soal OSN Matematika SMP Tingkat Provinsi 2018.  Pembahasan yang Penulis susun masih bersifat terbuka untuk diskusi tentang pembahasannya.
  •  Alhamdulillahirobbil alamin, patut kita bersyukur kepada Allah SWT. karena pelaksanaan OSN Tingkat Provinsi Tahun 2018 telah terlakasana dengan baik, yaitu pada tanggal 21 April 2018 yang bertepatan dengan Hari Kartini baik bidang studi Matematika, IPA dan IPS. untuk selanjutnya kita akan mempersiapkan diri untuk menghadapi OSN Tingkat Nasional tahun 2018.
  •  Akhirnya Penulis bisa melampirkan Soal dan Pembahasan OSN Matematika SMP Tingkat Nasional 2016 untuk soal hari kedua. Walaupun akhir-akhir ini banyak sekali kesibukan yang Penulis lakukan disamping menyusun dan mengkoreksi soal Pre Test OSN Guru Matematika SMP Tahun 2016 termasuk mempersiapkan modul pelatihannya, kegiatan kampus, kegiatan sekolah dll........
  •  Alhamdulillahirobbil ‘alamin.... patut Penulis ucapkan karena di sela-sela kesibukan yang Penulis dapatkan pada akhirnya Penulis bisa mempostingkan Soal dan Pembahasan OSN Matematika SMP Tingkat Nasional 2016 Hari Pertama. Dimana pada postingan sebelumnya Penulis sudah mempostingkan Soal OSN Matematika SMP Tingkat Nasional 2016.......
  •  Postingan berikut akan penulis lampirkan tentang Hasil Koreksi OSN SMP Tingkat Provinsi Tahun 2016. Sedangkan Tuan rumah untuk peserta OSN yang lolos Ke Tingkat Nasional Tahun 2016 ini terletak Kota Palembang, Sumatera Selatan. Ajang akbar tahunan ini akan diselenggarakan pada pada 15-21 Mei 2016........
  •  Pada postingan berikut ini Penulis akan melampirkan tentang Soal dan Pembahasan OSN Matematika SMP Tingkat Provinsi 2016 Bagian B: Soal Uraian, dimana pada postingan sebelumnya Penulis telah melampirkan Soal dan Pembahasan OSN Matematika SMP Tingkat Provinsi Tahun 2016 Bagian A: Soal Isian Singkat.......
  •  Pada postingan berikut ini Penulis akan melampirkan Soal dan Pembahasan OSN Matematika SMP Tingkat Provinsi Tahun 2016 Bagian A: Soal Isian Singkat, dimana pada postingan sebelumnya Penulis telah melampirkan Soal OSN Matematika SMP Tingkat Provinsi 2016.......
  •  Alhamdulillahirobbil alamin, patut kita bersyukur kepada Allah SWT. karena pelaksanaan OSN Guru Matematika SMP Tingkat Kabupaten/Kota Tahun 2016 telah terlakasana dengan baik pada tahun ini, baik bidang studi Matematika maupun IPA. untuk selanjutnya kita akan mempersiapkan diri untuk OSN Guru Tingkat Provinsi dan Tingkat Nasional Tahun 2016......
  •  Pada postingan kali ini Penulis akan melampirkan tentang Soal dan Pembahasan OSN Matematika SMP Tingkat Kabupaten/Kota 2016 Bagian B: SoalUraian. Dimana pada postingan sebelumnay Penulis telah mempostingkan Soal dan Pembahasan OSN Matematika SMP Tingkat Kabupaten/Kota 2016 Bagian A.....
  •  Alhamdulillahirobbalil alamin patut kita ucapkan kepada Allah SWT atas terselesainya pelaksanaan Olimpiade Sains Nasional (OSN) Tingkat Kabupaten/Kota Tahun 2016 ini dengan baik dan menarik pada hari Sabtu, tanggal 5 Maret 2016....

Rabu, 08 Oktober 2014

Mengupayakan Pembelajaran yang Sesuai Tuntutan Kurikulum 2013


Oleh: Abdur Rahman As’ari
Dosen Universitas Negeri Malang


PENDAHULUAN
Di abad ke 21, orang harus memiliki kreativitas agar mampu menciptakan sesuatu yang baru yang “unique” dan diperlukan oleh masyarakat lain. Dengan kreativitasnya, seseorang akan dihargai dan diperlukan kehadirannya. Orang tersebut akan memiliki daya tawar yang baik, dan memiliki peluang untuk mendapatkan fasilitas yang diperlukan.
Di abad ke 21, orang juga harus mampu berpikir kritis. Dengan kemampuan berpikir kritis, dia mampu melihat sesuatu secara jernih. Orang tersebut tidak akan mudah terkecoh dan terhindar dari segala tipu muslihat yang merugikan. Dia akan mampu mengendalikan segala tindakan yang harus dilakukannya. Dia juga tidak akan mudah terpancing emosinya, dan selalu mempertimbangkan keputusannya dari berbagai sudut pandang.

Di abad ke 21, orang juga harus mampu mengomunikasikan idenya dengan baik agar orang lain mengerti dan mengakui pentingnya ide tersebut. Kalau pun seseorang memiliki ide yang baik, tetapi yang bersangkutan tidak memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik, yang terjadi adalah orang lain tidak memahami betapa pentingnya ide tersebut. Bahkan orang menerima idenya dengan salah dan menganggap yang punya ide sebagai orang yang “kurang waras”. Dengan kemampuan berkomunikasi yang baik, dia berpeluang mendapatkan dukungan (moril atau materiil) yang memungkinkan idenya tersebut terealisasikan.
Di abad ke 21, di mana pekerjaan sudah diarahkan sebegitu detailnya, kemampuan kerjasama antara orang yang satu dengan orang yang lain akan sangat menentukan keberhasilan suatu sistem. Tanpa bekerja sama dengan baik, keutuhan produk dari perusahaan tersebut akan kurang baik dan kurang diminati masyarakat konsumen. Karena itu, perusahaan-perusahaan besar multinasional sering menjadikan kemampuan bekerjasama sebagai bahan utama seleksi calon pegawai unggulan.
Selanjutnya, di abad ke 21, teknologi informasi dan komunikasi telah berkembang dengan sangat pesat. Akibatnya, informasi banyak terserak di dunia maya. Hari ke hari, informasi yang tersedia di dunia maya semakin banyak dan berlimpah. Apapun informasi yang diperlukan oleh seseorang, ia akan dapat diperolehnya dengan hanya menekan tombol-tombol komputer. Sayangnya, di samping informasi yang valid dan bisa dipercaya, di dalam dunia maya tersedia juga informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Orang harus mampu memilah dan memilih informasi. Oleh karena itu, keterampilan melokalisir informasi yang diperlukan, dan memilah serta memilih informasi yang tepat merupakan keterampilan yang sangat diperlukan di abad ke 21 ini.
Masih banyak lagi keterampilan-keterampilan lain yang diperlukan untuk bisa hidup dengan layak di abad ke 21 ini. Asari (2014), mengutip pendapat Beers (tanpa tahun), mengemukakan adanya beberapa keterampilan yang perlu dimiliki setiap agar untuk bisa hidup dengan baik di abad ke 21. Keterampilan-keterampilan itu adalah: (1) creativity and innovation skill, (2) critical thinking and problem solving skill, (3) communication skill, (4) collaboration skill, (5) information management skill, (6) effective use of technology skill , (7) career and life skill, and (7) cultural awareness skill.
Menyadari perlunya menyiapkan bangsa Indonesia yang mampu bersaing dengan baik di abad ke 21, atau bahkan dalam era masyarakat ekonomi terbuka yang akan segera datang (Masyarakat Ekonomi Asean tahun 2015, dan masyarakat ekonomi Asia beberapa tahun berikutnya), serta dimilikinya potensi keunggulan demografis dalam konteks 100 tahun Indonesia merdeka, pemerintah memandang perlu untuk memiliki kurikulum yang mampu mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut. Pemerintah menyadari bahwa kurikulum hendaknya memuat kompetensi yang diturunkan dari kebutuhan tersebut, bukan diturunkan dari kompetensi per mata pelajaran. Kurikulum hendaknya dikembangkan berdasarkan kompetensi inti, bukan dari kompetensi masing-masing mata pelajaran. Atas pertimbangan itu, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan akhirnya mengembangkan kurikulum baru, yaitu Kurikulum 2013. Dengan kurikulum 2013 ini, insan Indonesia diharapkan tumbuh dan berkembang menjadi insan yang produktif, inovatif, kreatif, dan afektif (Kasim, 2014).  Meskipun istilahnya tidak sama, tetapi berdasarkan pendekatan pembelajaran yang dianut dan prinsip-prinsip pembelajaran yang ditetapkan dalam peraturan menteri pendidikan dan kebudayaan, penulis mengambil kesimpulan bahwa kurikulum 2013 juga diarahkan untuk menjadikan rakyat Indonesia sebagai insan yang mampu bertahan hidup atau bahkan mewarnai kehidupan di abad ke 21 ini.

PRINSIP PEMBELAJARAN DALAM K 13
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomer 65 tahun 2013 (Kemdikbud, 2013), pemerintah menetapkan beberapa prinsip yang harus dijadikan dasar dalam melaksanakan proses belajar mengajar di kelas. Prinsip-prinsip pembelajaran yang tertera dalam permendikbud no 65 tahun 2013 tersebut adalah sebagai berikut:
1.             Dari peserta didik diberitahu menuju peserta didik mencari tahu,
2.             Dari guru sebagai satu-satunya sumber belajar menjadi belajar berbasis aneka sumber belajar,
3.             Dari pendekatan tekstual menuju proses sebagai penguatan penggunaan pendekatan ilmiah,
4.             Dari pembelajaran berbasis konten menuju pembelajaran berbasis kompetensi,
5.             Dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu,
6.             Dari pembelajaran yang menekankan jawaban tunggal menuju pembelajaran dengan jawaban yang kebenarannya multi dimensi,
7.             Dari pembelajaran verbalisme meunju keterampilan aplikatif,
8.             Peningkatan dan keseimbangan antara keterampilan fisikal (hardskills) dan keterampilan mental (softskills),
9.             Pembelajaran yang mengutamakan pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik sebagai pembelajar sepanjang hayat,
10.         Pemberdyaan yang menerapkan nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarsa sung tuladha), membangun kemauan (ing madya mangun karsa), dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani),
11.         Pembelajaran yang berlangsung di sekolah, di rumah, dan di masyarakat
12.         Pembelajaran yang menerapkan prinsip bahwa siapa saja adalah guru, siapa saja adalah siswa, dan dimana saja adalah kelas,
13.         Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran, dan
14.         Pengakuan atas perbedaan individual dan latar belakang budaya peserta didik.
Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa beberapa ciri dari proses pembelajaran di dalam Kurikulum 2013 adalah sebagai berikut.
1.             Menjadikan peserta didik sebagai pebelajar yang belajar bagaimana belajar (learning how to learn).
Pembelajaran hendaknya mendorong anak mencari tahu. Guru hendaknya tidak memposisikan diri sebagai pemberi tahu. Guru harus mengubah mindset mereka dari sebagai orang yang harus mentransfer ilmu kepada siswa. Guru harus menganggap bahwa siswalah yang harus mengkonstruksi konsep, atau prinsip. Siswa harus menjadi agen aktif dalam belajar. Karena itu, pembelajaran aktif (active learning) adalah salah satu ciri utama yang dikehendaki oleh kurikulum 2013. Kalau ini berhasil, salah satu cirinya adalah siswa banyak bertanya, dan giat mencari sendiri ilmu yang ingin dipelajarinya. Siswa tidak tidak menunggu diberitahu oleh guru.  
Meskipun demikian, guru tidak boleh semena-mena merespons pertanyaan yang diajukan siswa. Guru harus tetap bijak, Jika siswa bertanya, misalnya, “Pak/Bu... ini bagaimana?”, guru tidak boleh merespons pertanyaan itu dengan mengatakan “cari sendiri”. Guru harus membantu mereka tanpa harus menghilangkan kemandirian atau self regulasi belajar mereka. Respons “Hmmm bagus sekali pertanyaan kamu ini... ok... mari kita pelajari bersama... ini  tentang apa? Kalau kita ingin memperoleh jawaban dari ini, sumber informasi apa saja yang bisa kita manfaatkan? Dimana? Bagaimana caranya memperoleh informasi tersebut? Alat apa yang harus kita kembangkan? Kalau sudah bagaimana kita mengolahnya? Menganalisisnya? Menafsirkannya? Dll” sebaiknya diberikan guru agar tidak mematikan motivasi mereka. Guru harus pandai mengajukan pertanyaan yang tepat yang memungkinkan peserta didik menyadari bahwa kalau mereka ingin tahu sesuatu, mereka bisa menentukan langkah-langkah yang harus dilakukannya secara mandiri. Mereka akan menjadi pebelajar yang mandiri.
2.             Pembelajaran hendaknya memanfaatkan berbagai macam sumber belajar.
Di dalam era yang maju saat ini, kebenaran yang telah kita terima dalam beberapa lama, bisa tidak berlaku lagi. Ilmu pengetahuan dan teknologi telah berkembang begitu pesat. Apa yang kita anggap benar beberapa waktu yang lalu, bahkan beberapa detik yang lalu, bisa saja menjadi tidak benar lagi. Karena itu, guru yang  menempatkan diri sebagai sumber belajar, sebenarnya sudah tidak pada tempatnya lagi. Ilmu yang dimiliki guru itu bisa jadi sudah tidak up to date lagi. Ilmu tersebut sudah tidak diterima lagi kebenarannya oleh masyarakat.
Di samping itu, dengan perkembangan teknologi yang ada, spesialisasi suatu pekerjaan menjadi makin berkembang. Akibatnya, guru sering menjadi tidak mampu lagi membayangkan detail pekerjaan yang harus dilakukan oleh profesi tertentu. Karena itu, menggunakan profesional itu sendiri sebagai sumber belajar, jauh lebih baik daripada menggunakan pengetahuan guru itu saja.
Jadi, dengan memanfaatkan sumber belajar yang beraneka, informasi yang diterima siswa akan lebih akurat dan bisa dipertanggungjawabkan.
3.             Pembelajaran hendaknya tidak diarahkan hanya kepada pemahaman tekstual.
Pembelajaran tidak harus meminta anak membaca teks. Anak diharapkan bisa belajar dari mengamati peristiwa yang terjadi di sekitarnya, memikirkan ciptaan Tuhan, bertanya kepada pakar, atau melakukan percobaan. Karena itu, peserta didik harus dibantu memahami kaitannya dengan konteks dan memanfaatkannya sebagai bahan berpikir dan bertindak. Pembelajaran bukan hanya untuk menghafal kata-kata, kalimat, atau pernyataan yang dianggap penting.
4.             Pembelajaran hendaknya lebih diarahkan kepada pengembangan kemampuan berpikir.
Pembelajaran hanya untuk menguasai konten dengan kemajuan jaman yang ada saat ini kadang sudah tidak ada gunanya lagi, atau setidaknya kurang menjadi fokus lagi. Pembelajaran untuk memahirkan anak menguasai hitung-hitungan, baik yang sederhana atau bahkan yang rumit sekalipun, misalnya penghitungan integral lipat tiga, saat ini tidak terlalu diperlukan lagi. Beberapa waktu yang lalu, penulis memperoleh software yang bisa menjawab masalah integral lipat tiga yang rumit dengan mudahnya. Hanya dengan memasukkan rumus fungsi dan batas-batasnya, software tersebung langsung menampilkan jawaban yang diminta. Bahkan, bukan hanya jawaban akhirnya, tetapi juga proses penyelesaiannya, mulai dari tahap pertama sampai terakhir.
Karena itu, pembelajaran yang mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, dan proses berpikir matematis jauh lebih penting daripada sekedar belajar matematika. Kemampuan berpikir yang terkembangkan akan transferable daripada sekedar penguasaan konsep matematika itu sendiri.
Sebagai contoh, ketika anak diminta untuk menjawab: “berapa banyak persegi panjang yang bisa kita temukan pada grid 5 x 5?”, orientasi pembelajaran hendaknya tidak dibatasi kepada bagaimana membantu siswa menemukan jawabannya dengan cepat dan tepat. Pembelajaran hendaknya membantu siswa mengalami proses berpikir matematis yang “transferable” dalam kondisi apapun, yakni: clarifying, sorting and classifying, encoding, representing, comparing and contrasting, counting, drawing a formula, generalizing, and confirming (Asari, 2014b).
5.             Pembelajaran hendaknya membantu siswa menemukan keterkaitan antar fakta.
Pembelajaran hendaknya mendorong terbentuknya pemahaman yang bermakna. Ketika seorang calon guru belajar tentang konsep “permutasi”, misalnya, di teori peluang dan di struktur aljabar, makna permutasi di dua mata pelajaran itu harus bisa dijelaskan kaitannya. Kalau mereka menggunakan istilah yang sama, tentu ada alasan yang bisa dikemukakan. Peserta didik harus dibantu untuk melakukan defragmenting terhadap kumpulan informasi/konsep/prinsip yang ada di dalam kognisinya. Peserta didik harus dibantu untuk mengaitkan informasi yang baru dipelajari dengan informasi yang telah ada di dalam kognisinya. Inilah yang dikenal dengan istilah meaningful learning (Novak, 2011)
6.             Pembelajaran hendaknya difokuskan kepada pengerjaan soal-soal yang bersifat open-ended.
Soal yang bersifat open-ended memberikan kesempatan kepada setiap peserta didik untuk berkontribusi sesuai dengan kemampuannya. Kesempatan ini membantu mereka menjadi lebih percaya diri dalam belajar. Mereka mungkin akan memiliki sikap dan persepsi yang baik yang oleh Marzano & Pickering (1999) disebut sebagai dimensi pertama dalam belajar.
Beberapa contoh soal yang open ended, misalnya:
a.       Temukan 4 bilangan berlainan yang hasil operasinya sama dengan 10.
b.      Kalau ruangan kelas mau direnovasi secara menyeluruh, total anggaran yang diperlukan adalah Rp15.000.000,- Tetapi, karena anggaran yang tersedia hanya Rp7.000.000,- bagian mana saja yang perlu direnovasi dan seperti apa hasil renovasinya nanti?
Ketika peserta didik mengerjakan soal a di atas, mungkin dia akan menemukan fakta bahwa 1 + 2 + 3 + 4 = 10. Maka, empat bilangan yang dimaksudkan dalam soal itu antara lain adalah 1, 2, 3, dan 4. Akan tetapi, kalau kita cermat, kita bisa membantu peserta didik untuk mengembangkan strategi tertentu. Misalnya, 1 dan 2 tetap dipertahankan, tetapi 3 + 4 harus diganti dengan bilangan lain dan menggunakan operasi yang lain. Bentuk 3 + 4 ini diminta untuk diganti dengan hasil operasi dua bilangan selain 1 dan 2, misalnya 10 – 3, 11 – 4, 12 – 5. Peserta didik juga bisa menggunakan bilangan yang lain, misalnya 21 : 3, 28 : 4, 35 : 5 dan lain sebagainya. Pengalaman menemukan pola ini akan sangat bermanfaat bagi peserta didik.
Hal yang sama juga terjadi ketika peserta didik diminta untuk memecahkan masalah b. Mereka bisa memilih berbagai alternatif bagaimana mereka harus merenovasi dengan kondisi keuangan yang ada. Mereka bisa memutuskan untuk membeli cat tembok A atau tidak mengubah catnya sama sekali. Mereka bisa saja mengganti desain interiornya saja dan tidak mengganti bentuk tampilan dari pintu atau jendelanya. Tentu banyak alternatif yang bisa diambil, tetapi mereka harus tetap dilatih untuk bertanggung jawab terhadap keputusan yang dibuat.
7.             Pembelajaran hendaknya mendorong terbentuknya keseimbangan antara softskills (keterampilan mental) dan hardskills (keterampilan fisik).
Keseimbangan fisik dan mental adalah kondisi yang diinginkan oleh setiap orang. Siapapun kita pasti menginginkan agar kita sehat jasmani dan rohani sekaligus. Kita tidak menginginkan peserta didik yang sehat jasmani tetapi rohaninya buruk. Kita juga tidak menginginkan peserta didik yang rohaninya baik tapi fisiknya buruk. Keseimbangan dari keduanya adalah yang ideal. Peserta didik diharapkan sehat baik jasmani maupun rohani. Peserta didik diharapkan memiliki keterampilan motorik yang baik, tetapi juga memiliki keterampilan berpikir dan berolah rasa yang baik pula.
8.             Pembelajaran hendaknya mempertimbangkan variasi latar belakang, minat, dan kemampuan peserta didik.
Pembelajaran harus diarahkan untuk kepentingan semua peserta didik, bukan hanya sebagian besar. Pembelajaran harus dilakukan dengan kaidah differentiated instruction (Tomlinson, 2001). Karena itu, pembelajaran kepada anak yang kurang mampu harus berbeda dengan pembelajaran kepada anak yang sangat mampu. Kalau memungkinkan, guru seyogyanya membuat beberapa skenario pembelajaran dalam setiap pertemuan tatap muka. Guru perlu menyediakan alternatif pembelajaran untuk kelompok siswa tertentu, dan alternatif pembelajaran lain untuk kelompok siswa lainnya. Jadi, pembelajaran disesuaikan dengan kondisi peserta didik. Pembelajaran tidak bersifat “one fit for all”.
9.             Pembelajar (Guru) harus mampu memposisikan dengan baik sesuai dengan prinsip pembelajar menurut Ki Hajar Dewantara.
Salah satu prinsip pembelajaran yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantoro adalah: “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Dari ajaran ini, guru harus bisa membedakan kapan dan bagaimana bertindak.
Pertama, ing ngarsa sung tuladha. Prinsip ini menunjukkan bahwa guru harus mampu menjadi model ketika dia memimpin peserta didik. Ketika memiliki ide baru, guru tidak boleh hanya sekedar mengatakannya. Guru harus mampu memberikan contoh tauladan untuk ditiru oleh peserta didik.
Kedua, ing madya mangun karsa. Prinsip ini menunjukkan bahwa ketika guru mendampingi siswa, guru harus mampu membantu siswa mengembangkan kehendak atau keinginan, terutama keinginan tahu.
Ketiga, tut wuri handayani. Prinsip ini menunjukkan bahwa ketika guru sudah memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan belajar, guru harus mampu membantu siswa memiliki rasa percaya diri. Siswa harus dibantu memiliki persepsi bahwa mereka bisa, mampu, dan sanggup melakukan tugas yang diamanahkan kepadanya dengan sebaik mungkin.
Hal di atas memberikan petunjuk bagaimana profil guru Indonesia yang seharusnya. Dia harus bisa menjadi model, motivator, dan memberi kesempatan.
10.         Setiap orang adalah guru dan juga siswa sekaligus.
Guru pun harus tetap menempatkan diri sebagai pebelajar. Guru harus terus belajar. Guru harus terus belajar sepanjang hayatnya. Dengan prinsip ini, guru akan mampu membantu peserta didik belajar. Bukan dalam artian guru mentransfer ilmu kepada muridnya, tetapi guru menyediakan lintasan pengalaman belajar yang lebih baik bagi peserta didiknya.   
Sementara itu, peserta didik juga harus menyadari bahwa konstruksi pengetahuan yang mereka miliki bisa jadi tidak dimiliki oleh orang lain, termasuk guru sekalipun. Karena itu, peserta didik juga bisa menjadi guru. Peserta didik bisa saja menjadi tutor bagi teman sebaya mereka, atau bahkan bisa menjadi nara sumber di dalam kelasnya. Pengalaman dan hasil belajarnya yang bersifat “unique” memungkinkan peserta didik membagikan ilmunya kepada warga kelas atau bahkan warga sekolah yang lain.
11.         Pembelajaran bisa berlangsung tanpa mengenal tempat.
Pembelajaran bisa berlangsung di dalam kelas, tetapi bisa juga berlangsung di halaman sekolah, di kantin, di pasar, di dapur, dan di mana saja. Karena itu, guru tidak boleh membatasi darimana siswa belajar sesuatu. Guru harus menyadari bahwa siswanya bisa saja belajar dari selain dirinya. Mereka bisa belajar dari menjelajah dunia maya, bertanya kepada kakak atau saudaranya, kursus di bimbingan belajar, melakukan percobaan sendiri di luar kelas, dan lain sebagainya. Yang paling penting adalah bagaimana proses berpikir dan bernalar yang dilalui sehingga konsep atau prinsip yang dimiliki sebagai hasil belajar itu bisa dipertanggungjawabkan. Untuk itu, guru harus bersifat permisif bahkan mendorong peserta didik untuk belajar secara mandiri, menjadi self-regulated learners.
12.         ICT dalam pembelajaran hanya sebagai alat.
Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, penggunaan ICT dalam pembelajaran tentu tidak bisa diabaikan. Akan tetapi, pemanfaatan ICT ini hendaknya dimaksudkan sekedar untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pembelajaran. Pembelajaran dengan ICT harus dibedakan dengan pembelajaran tentang ICT. Pembelajaran di sekolah pada umumnya hendaknya dimaknai dengan pembelajaran dengan ICT, bukan tentang ICT.

ISYU PENTING PEMBELAJARAN DALAM KURIKULUM 2013
Berdasarkan prinsip-prinsip pembelajaran di atas, maka pemerintah menerapkan pendekatan saintifik sebagai pendekatan yang harus diterapkan dalam kurikulum 2013. Pembelajaran semua mata pelajaran harus diarahkan agar siswa melakukan 5M, yaitu: mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi, dan mengomunikasikan. Pembelajaran yang memungkinkan terjadinya pemberian jawaban yang bervariasi juga sangat disarankan. Karena itu, model-model pembelajaran yang memanfaatkan unsur-unsur dalam 5M dan open-ended, seperti Problem-Based Learning (PBL), Project-Based Learning (PjBL), dan Discovery Learning (DL) sangat disarankan untuk diterapkan dalam kurikulum 2013.
Namun demikian, penerapan model-model pembelajaran tersebut menuntut ketekunan dan kesabaran, serta pemahaman yang baik tentang PBL, PjBL, maupun Discovery Learning. Kalau ingin menerapkan PBL, guru harus pandai memilih masalah otentik/ realistik yang membuat mereka tertarik dan tertantang untuk menyelesaikannya. Tidak semua masalah, bisa dijadikan dasar untuk penerapan PBL. Masalah yang pantas untuk dijadikan dasar dalam penerapan PBL adalah masalah yang otentik dan lintas disiplin (Asari, 2013; Jonassen, 2011, Jonassen & Hung, 2008).
PBL juga biasanya memerlukan waktu yang lebih dari sekedar 1 atau 2 kali tatap muka. Mereka harus merumuskan masalahnya, mengidentifikasi berbagai macam cara yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah tersebut, mengambil keputusan tentang cara mana yang akan ditempuh, melengkapi bahan dan perlengkapan yang diperlukan untuk memecahkan masalah, mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk merangkai langkah penyelesaiannya, memeriksa kebenaran proses dan hasilnya, dan memutuskan jawaban dari masalah tersebut. Semua itu dilakukan sendiri oleh siswa, bukan oleh guru. Ini akan memakan waktu yang cukup lama. Karena itu, sebaiknya, penerapan PBL ini melibatkan beberapa mata pelajaran sekaligus. Guru-guru dari beberapa mata pelajaran saling bekerja sama, merancang masalah dan menentukan tagihan sesuai dengan bidangnya.
Kalau mau menerapkan PjB, guru juga harus pandai memilih proyek yang layak dan menarik dikerjakan siswa. Seperti halnya PBL, pada saat mengikuti PjBL, siswa harus aktif menentukan sendiri seperti apa produk dari proyek yang akan dilakukan, langkah-langkah apa yang akan dilakukan, bahan apa saja yang diperlukan, serta penataan waktu dan tempat pengerjaannya. PjBL juga tidak bisa diselesaikan hanya dalam 1 atau 2 kali tatap muka.
Kalau mau menerapkan Discovery Learning, guru harus pandai-pandai merekayasa masalah, dan mendorong siswa berambisi untuk menemukan jawabnya. Guru harus pandai menahan diri untuk memberitahukan apa yang akan dipelajari siswa. Guru harus pandai menahan dari dari menyebutkan konsep atau prinsip yang akan dipelajari siswanya. Karena itu, kalau guru di awal pembelajaran sudah menyebutkan tujuan pelajarannya, ada peluang siswa menebak-nebak tanpa melakukan asosiasi. Karena itu, menurut hemat penulis, ketika menerapkan Discovery Learning, guru mungkin harus tega untuk tidak memberitahukan materi atau tujuan pembelajarannya.

HAL LAIN
Di samping penerapan model-model pembelajaran seperti tersebut di atas, ada beberapa hal teknis yang perlu juga diperhatikan oleh guru. Hal-hal teknis ini justru merupakan penentu keberhasilan penerapan pembelajaran yang menggunakan pendekatan saintifik. Beberapa hal teknis tersebut antara lain adalah:
1.             Seni mempresentasikan bahan pengamatan
2.             Seni mendorong anak untuk mau dan mampu menanya
3.             Seni mendampingi anak yang sedang mengerjakan tugas yang guru berikan
Seni mempresentasikan bahan pengamatan.
Bagaimana seorang guru mempresentasikan bahan pengamatan sangat menentukan respons siswa. Mimik muka dan gesture yang mengiringi penyajian bahan pengamatan akan menentukan seberapa intens siswa tumbuh rasa ingin tahunya.
Perintah “amati gelas berikut”  secara langsung yang mengharapkan siswa mengamati secara cermat akan berbeda dampaknya dengan perintah yang didahului dengan kegiatan guru “memiring-miringkan badannya sambil menempatkan gelas agak tinggi di atasnya, dengan posisi dinamis”. 
Seni mendorong peserta didik agar mau dan mampu menanya.
Kemauan dan kemampuan anak menanya tidak bisa diharapkan dengan sendirinya. Guru harus memiliki seni untuk mengembangkan kemauan dan kemampuan menanya tersebut. Permintaan “Ada pertanyaan?” seringkali disambut dengan hening saja oleh para siswa. Mereka takut disalahkan kalau mengajukan pertanyaan. Mereka takut ditanya ulang kalau mengajukan pertanyaan. Ada banyak hal yang telah menyebabkan anak tidak mau dan tidak mampu menanya, terutama mengajukan pertanyaan yang bersifat investigatif.
Membiasakan anak dengan “sarapan menanya”, melengkapi pertanyaan yang dimulai dengan kata-kata “Bagaimana kalau ...”, “Bagaimana kalau tidak ....” merupakan dua cara yang bisa dicobakan. Meminta anak mengembangkan kalimat tanya yang memuat dua atau tiga kata juga bisa dipraktikkan. Terakhir, mendaftarkan beberapa pertanyaan, dan menganalisis untuk menentukan skala prioritas urutan pertanyaan yang harus diajukan juga merupakan seni yang baik untuk dicobakan.
Seni mendampingi peserta didik ketika mereka menjalankan tugas.
Tugas yang diberikan guru untuk dilakukan siswa merupakan aspek penting dan utama dalam belajar.  Pengalaman menunaikan tugas itu menentukan kualitas belajar yang dialami siswa. Karena itu, kualitas tugas harus dirancang sebaik mungkin.
Akan tetapi, ketika siswa mengerjakan tugas, guru tidak boleh duduk diam dan membiarkan siswa mengerjakan sendiri sesuai dengan kemampuannya. Kalau itu terjadi, maka menurut Chaiklin (2003) terkait dengan teori ZPD (Zone of proximal development), siswa hanya akan sampai kepada tingkat kemampuan aktualnya. Tapi, kalau guru mendampingi mereka, dan memberikan bantuan (scaffolding) yang sesuai dengan yang diperlukan, mereka berpeluang untuk sampai kepada kemampuan idealnya.
ZPD antar siswa yang satu dengan siswa yang lain bisa tidak sama luasnya. Karena itu, scaffodling atau bantuan antara siswa yang satu dengan siswa yang lain harusnya juga tidak sama. Pendampingan dalam rangka scaffolding untuk siswa dengan kemampuan yang lemah/kurang harus dibedakan dengan scaffolding untuk siswa dengan kemampuan yang sedang, apalagi untuk siswa dengan kemampuan yang tinggi. Yang penting, scaffolding itu sebaiknya diarahkan untuk mencapai potensi ideal mereka. Memang kita tidak tahu, tetapi kita harus terus menantang siswa untuk mengembangkan potensinya sampai batas dimana mereka sudah tidak mampu berkembang lebih jauh lagi (saat itu).

PERAN DAN TANGGUNGJAWAB KEPALA SEKOLAH atau PENGAWAS
Kepala Sekolah atau terutama pengawas adalah pembina para guru. Baik buruknya kinerja seorang guru adalah tanggungjawab guru. Karena itu, kepala sekolah dan pengawas yang baik seharusnya peduli terhadap kinerja gurunya.
Dalam rangka itu, agar penerapan kurikulum 2013 ini berjalan dengan optimal, ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh Kepala Sekolah dan Pengawas.
1.             Kepala Sekolah atau Pengawas perlu menetapkan indikator penerapan kurikulum 2013 yang bermutu. Akan lebih baik, kalau penetapan indikator ini dilakukan secara partisipatif dengan guru binaan mereka. Indikator itu setidak-tidaknya memuat kualitas penugasan yang diberikan guru, kemauan dan kemampuan siswa menanya, dan kualitas pendampingan yang dilakukan guru ketika siswa mengerjakan tugas yang diberikan guru.
2.             Kepala Sekolah atau Pengawas mengembangkan instrumen untuk mengukur tingkat ketercapaian indikator penerapan kurikulum 2013 yang bermutu itu. Ini untuk memudahkan proses penilaian terhadap kualitas penerapan Kurikulum 2013. Tentu saja, instrumen yang dikembangkan secara partisipatif akan lebih baik daripada ditetapkan sepihak oleh Kepala Sekolah dan Pengawas.
3.             Kepala Sekolah atau Pengawas mengumpulkan data tentang penerapan kurikulum 2013 dan mengomunikasikannya kepada guru binaan. Akan lebih baik, kalau pengomunikasian ini ditindaklanjuti dengan rencana pendampingan atau supervisi yang manusiawi, yaitu pendampingan yang bersifat kolegial, dan konstruktif.
4.             Kepala Sekolah atau Pengawas melakukan pendampingan dengan memberikan bimbingan teknis tentang hal-hal yang mungkin bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Pendampingan ini boleh dilaksanakan sendiri oleh Kepala Sekolah dan Pengawas tersebut atau dengan mengundang guru pendamping atau nara sumber lain yang lebih kompeten.
5.             Guru menerapkan lagi hasil pendampingan (mungkin akan lebih baik kalau diiikuti oleh Kepala Sekolah atau Pengawas) sehingga terjadi team teaching yang mencegah “blaming” kepada guru.
6.             Kepala Sekolah atau Pengawas bersama-sama dengan guru mengadakan konferensi/pertemuan untuk mengadakan refleksi dan penyusunan rencana perbaikan berikutnya.
Hal-hal di atas membantu guru mengembangkan kemampuan mereka untuk menerapkan pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013. Namun demikian, di republik ini, penerapan suatu inovasi itu seringkali bersifat “hangat-hangat tahi ayam”. Di awal tahapan terlihat asyik dan bersemangat, tapi dalam waktu tidak terlalu lama, guru tersebut segera mengalami kebosanan dan cenderung kembali ke bisnis semula, yaitu ceramah. Untuk itu, kepala sekolah atau pengawas harus memiliki banyak kiat untuk membantu guru tetap memiliki semangat tinggi membelajarkan seperti tuntutan kurikulum 2013.
Penulis memiliki seorang teman yang pengalaman dan kiat-kiatnya patut dijadikan pertimbangan. Beliau pernah menjadi kepala sekolah di salah satu sekolah di gunung yang sebelumnya dikenal sebagai sekolah 8-10. Artinya, pembelajaran di sekolah itu dimulai pukul 8 dan pulang pukul 10. Beliau mengerahkan seluruh tenaga dan pikiran, antara lain mengadakan kunjungan ke rumah-rumah orang tua, mengenalkan program DEAR (drop everything and read), menjalankan program MBS (Manajemen Berbasis Sekolah) dan PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan). Dengan kerja kerasnya, sekolah itu akhirnya menjadi maju. Pembelajaran secara rutin dimulai pukul 06.15 (mulai dengan DEAR), dan diakhiri pukul 12.30. Tidak jarang, sore harinya para siswa masih datang ke sekolah, belajar beberapa keterampilan tangan dari orang tua yang secara suka rela melatihnya.
Teman ini juga menceritakan bahwa kadang-kadang guru jenuh dalam menjalankan praktik yang baik, dan berusaha kembali ke praktik yang lama, yaitu ceramah. Untuk itu, beliau mengembangkan beberapa kiat, yaitu: flexidi (pembelajaran di kelas divideokan, dan kemudian sambil santai-santai di suatu tempat, video itu ditayangkan dan guru diminta untuk melakukan refleksi diri), in house training (kepala sekolah mengadakan workshop dimana guru-guru untuk mengembangkan inovasi pembelajaran), dan rekayasa kunjungan sekolah lain. Terkait dengan rekayasa kunjungan sekolah lain ini adalah dalam rangka membantu guru memiliki kebanggaan diri bahwa bahwa yang dilakukannya itu merupakan sesuatu yang penting bagi guru lain di sekolah lain. Dengan rekayasa tersebut, guru di tempat lain berkesempatan untuk belajar sesuatu yang bagus, dan guru di tempat kepala sekolah itu bekerja juga tetap mempertahankan praktik yang baik.
Dengan demikian, kepala sekolah atau pengawas dituntut untuk kreatif memiliki kiat-kiat khusus dalam membantu guru baik untuk memahami pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013, serta kiat khusus untuk memelihara momentum dan mencegah guru kembali ke praktik pembelajaran yang tidak sesuai dengan tuntutan kurikulum 2013.

KALAM AKHIR
Semoga sumbangsih pemikiran ini memberikan inspirasi tentang bagaimana kita menerapkan kurikulum 2013 dengan baik. Yang penting, kita harus yakin bahwa “tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini”. Kita harus yakin bahwa kita pasti bisa menjalankan kurikulum 2013 dengan baik.
Ada satu hal lagi. Prinsip pembelajaran yang kita bahas di atas, sebenarnya tidak mengenal nama kurikulum. Apapun kurikulumnya, prinsip-prinsip pembelajaran di atas tetap berlaku. Sepanjang paradigma pembelajaran yang kita pegang adalah paradigma konstruktivistik, mau apapun kurikulumnya, prinsip-prinsip pembelajaran di atas masih tetap berlaku.
Terakhir, sebagai abdi negara dan guru yang baik, kita bisa mengibaratkan diri ini sebagai tukang cukur. Apapun model cukuran yang diinginkan, kita harus mengupayakannya. Kita juga bisa diibaratkan sebagai tukang jahit. Mau model jahitan seperti apapun, kita harus siap dan mampu menyenangkan orang yang memesan jahitan kepada kita. Karena itu, terkait dengan isyu perubahan kurikulum 2013 setelah pergantian menteri pendidikan dalam kabinet yang akan datang ini, kita harus terus menyiapkan diri belajar melaksanakan pembelajaran dengan paradigma apapun (behavioristik, kognitivistik, konstruktivistik, atau paradigma lain yang baru ditemukan). Kita harus mampu menguasai prinsip pembelajaran yang ada di dalam masing-masing paradigma tersebut, dan mewujudkan pembelajaran yang sesuai dengan prinsip tersebut.
Kita tidak perlu gelisah dengan pergantian menteri. Semoga kita selalu sukses mendidik anak bangsa ini dengan optimal. Semoga bangsa Indonesia menjadi bangsa yang besar yang subur, makmur, aman dan tenteram dan menjadi bangsa unggulan.
Semoga sukses. 


RUJUKAN
Asari, A.R. 2013. Pembelajaran Berbasis Masalah dalam Pelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Himpunan Mahasiswa Vektor, Jurusan Matematika FMIPA UM, September 2013.
Asari, A.R. 2014a. Mengerjakan soal latihan matematika: hanya agar terjawab dengan cepat dan akurat? Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Matematika dengan tema “Innovations in Mathematics Education toward Asian Community”. Jakarta: Universitas Prof. Dr. Hamka. 20 September 2014-09-23
Asari, A.R. 2014b. Helping students experiencing mathematical thinking. Paper presented in International Workshop on Graph Masters and Seminar on Mathematics Education and Graph Theory. UNISMA: 7 – 9 Juni 2014
Beers, S.Z. tanpa tahun. 21st century skills: preparing students for their future. STEM
Chaiklin, S. 2003. The zone of proximal development in Vygotski’s analysis of learning and instruction. In Kozulin, A., Gindis, B., Ageyev, V,. Miller, S. (eds). Vygotsky’s Educational Theory and Practice in Cultural Context. Cambridge: Cambridge University Press.
Jonassen, D. 2011. Supporting Problem Solving in PBL. Interdisciplinary Journal of Problem-Based Learning. Volume 5,No. 2. pp. 94 - 112
Jonassen, D. & Hung, W. 2008. All Problems are Not Equal: Implications for Problem-Based Learning. Interdisciplinary Journal of Problem-Based Learning. Volume 2, No. 2 pp. 6 - 28
Kasim, M. 2014. Implementasi Kurikulum 2013. Paparan Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Bidang Pendidikan. Disajikan dalam Workshop Penyegaran Nara Sumber Nasional Pelatihan Kurikulum 2013. Banten: Hotel Yasmin, Tangerang, 15 April 2014.
Kemdikbud. 2013. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 65 tahun 2013 tentang Standar Proses. Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Marzano, R.J. & Pickering, D.J. 1999. Dimensions of learning: Teacher’s manual. Alexandria, VA: ASCD
Novak, J. 2011. Theory of education: meaningful learning underlies the constructive integration of thinking, feeling, and acting leading to empowerment for commitment and responsibility. Meaningful Learning Review, VI(2), 1 – 14.
Tomlinson, C.A. 2001. How to differentiate instruction in mixed ability classrooms. 2nd edition Alexandria, VA: ASCD

1 komentar:

  1. I completely agree with the conclusions of the author, try proposal paper since they are clear and understandable based on the principles that were voiced earlier before.

    BalasHapus

Random Post