Oleh: Abdur
Rahman As’ari
(Koordinator OSN Matematika SMP dan Pakar Teknologi Pembelajaran Matematika Indonesia)
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh
Beberapa
saat lagi kita akan melaksanakan salah satu hari saya (ied) dalam Islam, yaitu
Ied al Qurban atau juga lazim disebut dengan Ied al Adha. Bersama-sama dengan
Ied al Fitr, dua hari raya ini ditetapkan oleh Rasulullah Muhammad SAW sebagai
pengganti hari raya yang biasa dirayakan oleh kaum Yahudi di Madinah. Namun
demikian, kita tidak akan membahas lebih jauh tentang sejarah ditetapkannya Ied
al Qurban ini. Kita justru ingin lebih banyak belajar untuk memikirkan
kemungkinan pembumiannya di dalam kehidupan sekarang ini.
Dalam
konteks Ied al Qurban, ada baiknya kita tengok praktik-praktik peribadatan yang
mengiringinya. Peribadatan terkait dengan Ied al Qurban ini bisa kita lihat
dari rangkaian ibadah haji, yaitu: (Wuquf di Arafah, Perjalanan dari Arafah,
Muzdalifah, dan Mina, Melempar jamarat di Mina, Takbir, Tahlil, dan Tahmid di
Masjid al Haram).
Rangkaian
ibadah haji tersebut adalah dalam rangka itba’ peristiwa agung oleh keluarga
nabi Ibrahim, yaitu Nabi Ibrahim sendiri, alaihis salam, bersama dengan
istrinya, Siti Hajar, dan anaknya, Nabi Ismail
alaihis salam.
Sebagaimana
dikisahkan dalam sejarah, Nabi Ibrahim dan Siti Hajar yang sudah sangat tua dan
ingin memiliki keturunan pada akhirnya diberi karunia anak yang bernama Ismail.
Sebagai anak yang sangat diharapkan kehadirannya, tentulah Ismail sangat
disayangi oleh Nabi Ibrahim dan Siti Hajar.
Akan
tetapi, ketika menginjak remaja, Nabi Ibrahim a.s. justru diuji oleh ALLAH.
Melalui wahyu yang diterima melalui mimpi, Nabi Ibrahim a.s. disuruh
menyembelih anak yang sangat dicintainya, Nabi Ismail, a.s.
Kalau
kita boleh membayangkan perasaan beliau sebagai manusia biasa, sebagai orang
tua yang sangat menyayangi anaknya, tentu berat sekali perasaan nabi Ibrahim
a.s. menerima perintah ini. Begitu pula dengan Nabi Ismail a.s. Sebagai manusia
yang masih remaja dan memiliki masa depan yang lebih panjang, tentulah Nabi
Ismail berpikir mengapa dia yang harus disembelih.
Tapi,
demi kebenaran yang mutlak, mereka berdua pun dengan sepenuh hati memenuhi
perintah ALLAH SWT. Nabi Ibrahim a.s. menyembelih Nabi Ismail a.s. dan ALLAH
pun menerima keikhlasan mereka berdua dengan mengganti Nabi Ismail a.s. dengan domba
yang suci bersih. Nabi Ismail a.s. selamat dari ujung belati Nabi Ibrahim, a.s.
dan yang tersembelih adalah seekor domba. ALLAHU AKBAR. ALLAHU AKBAR,
ALLAHUAKBAR, WALILLAHILHAM.
Tetapi
keikhlasan dalam berkorban itu tidak berarti tanpa godaan. Syaithon ar rojiim
senantiasa berusaha untuk menggoda dan menggagalkan keikhlasan para nabi agung
ini. Kegagalan menggoda Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ismail a.s. tidak
menghentikan upaya syaithon ar rojiim untuk mengganggu dan menggoda isti Nabi
Ibrahim a.s. yaitu Ibunda Siti Hajar. Sampai-sampai, Ibunda Siti Hajar pun
melempari syaithon tersebut dengan batu.
Makna
Qurban
Pengantar
tulisan di atas adalah sekelumit cerita tentang asal muasal pemotongan hewan
qurban yang saat ini selalu dilakukan pada bulan haji.
Kata
Qurban itu sendiri sebenarnya berasal dari kata “Qurb” yang berarti “dekat” dan
ditambahkan kata “an” yang berarti “sempurna” sehingga kata “qurban” itu bisa
dimaknai dengan kedekatan yang sempurna.
Dengan
demikian, penyembelihan Nabi Ismail a.s. oleh Nabi Ibrahim a.s itu adalah wujud
dari kedekatan beliau yang sempurna kepada ALLAH SWT. Dengan kedekatan yang
sempurna tersebut, beliau bersedia menyembelih anak satu-satunya (waktu itu)
yang sangat dicintainya. Kecintaan Nabi Ibrahim a.s kepada ALLAH mengalahkan
kecintaannya kepada siapa dan apapun yang ada di muka bumi ini. Bahkan
mengalahkan kecintaannya kepada anak yang sangat lama dinanti kehadirannya. Inilah
wujud dari Qurban itu.
Manifestasi Qurban Secara Filosofis
Di
dalam kehidupan saat ini, praktik Qurban ini banyak disyariatkan dalam agama.
Ada praktik ibadah yang dimaksudkan untuk menjadikan kita merasa “Qurban kepada
ALLAH” (baca: betul-betul dekat kepada ALLAH), dan ada pula praktik ibadah yang
merupakan manifestasi dari ke-Qurban-an kita kepada ALLAH.
1.
Ibadah untuk Mendidik kita Merasa “Qurban kepada ALLAH”
Praktik
peribadatan yang mendidik kita agar Qurban kepada ALLAH antara lain adalah: Sholat,
dan Puasa.
(a)
Sholat
Kita
diwajibkan melaksanakan shalat lima waktu sehari semalam dan dianjurkan untuk
memperbanyak sholat (terutama sholat sunnah). Apa maksudnya? Tentu agar kita
dekat kepada ALLAH.
Bukankah
di dalam sholat itu kita bercakap-cakap dengan ALLAH. Kita memuja muji ALLAH, kita
juga meminta kepada ALLAH. Bahkan ada tuntunan bahwa dalam melaksanakan sholat
itu, hendaklah kita melakukannya dengan ihsan, yakni: se akan-akan kita melihat
ALLAH, dan meyakinkan diri kalaupun kita tidak mampu melihat ALLAH, niscaya ALLAH
senantiasa melihat kita.
Dengan
menjalankan praktik sholat secara teratur, tertib, tuma’ninah, ikhlas dan
semata-mata mengharapkan ridlo ALLAH, diharapkan kita menjadi orang yang Qurban
kepada ALLAH, yaitu orang yang betul-betul dekat dengan ALLAH.
Karena
itu, wajar jika orang yang sholatnya baik, yang dengan itu dia menjadi orang
yang Qurban kepada ALLAH, orang ini niscara terhindar dari perbuatan keji dan
mungkar.
Perilakunya
di luar sholat senantiasa memberikan manfaat bagi sesama dan alam sekitarnya.
Ini sesuai dengan tuntunan bahwa “Innash sholaat tanha anil fahsyaa i wal
munkar” yakni sesungguhnya shola itu akan mencegah kalian dari melakukan
perbuatan keji dan mungkar.
(b)
Puasa
Kita
juga diajari untuk berpuasa. Puasa artinya imsak atau menahan. Dengan melakukan
ibadah puasa, kita dibelajarkan untuk menahan diri. Bahkan dari memakan makanan
yang halal pun kita dibelajarkan untuk menahan diri.
Kalau
sehari kita tiga kali makan, maka dalam bulan puasa yang hanya dua kali makan
pun, kita diajarkan untuk menahan diri. Kita dianjurkan untuk tidak
berlebih-lebihan dalam berbuka. Kita dianjurkan untuk tidak semacam melakukan
balas dendam ketika berbuka. Berbuka cukup dengan tiga biji kurma dulu, bukan
dengan menghabiskan semangkuk es buah, memakan beberapa piring nasi dan lain
sebagainya. Berbuka bukanlah untuk balas dendam.
Berpuasa
adalah ibadah yang penentuan pahalanya langsung oleh ALLAH. “Puasa untukKU,
kata ALLAH, dan AKU sendirilah yang akan membalasnya”. Ini menunjukkan bahwa puasa
adalah salah satu syariat yang mendorong status manusia yang Qurban kepada
ALLAH.
Ketika
berpuasa, manusia berkorban untuk tidak makan, minum, melakukan hubungan seks,
semata-mata karena ALLAH. Puasa mendidik kita merasa bahwa ALLAH itu dekat dan
mengetahui apa yang dilakukan kita kendati manusia lain tidak mengetahui. Puasa
mendidik kita untuk menjadi orang yang Qurban kepada ALLAH.
2.
Ibadah sebagai Manifestasi ke-Qurban-an kita Kepada ALLAH
Ibadah
yang merupakan Manifestasi ke-Qurban-an kita kepada ALLAH antara lain Zakat, Shodaqah, Infaq, dan Haji
(a)
Zakat,
Infaq, Shadaqah
Zakat,
Infaq, dan Shadaqah adalah ibadah yang mengedepankan kecintaan kepada ALLAH
daripada kepada benda, harta yang kita miliki. Ia adalah ibadah yang merupakan
wujud ke-Qurban-an kita kepada ALLAH SWT.
Kita
lebih memuliakan dan mendahulukan perintah ALLAH untuk memberi (daripada
menerima) dengan melepaskan sebagian dari harta, benda yang kita miliki kepada
manusia yang memerlukan.
Meskipun
harta dan benda yang kita kumpulkan itu kita dapatkan karena kita berusaha
dengan keras, dan jerih payah, kita tetap memberikan sebagian daripadanya
kepada orang lain (mustahiq). Disinilah tampak wujud dari Qurban kita kepada
ALLAH.
Kita
merasa bahwa harta yang telah kita kumpulkan itu datangnya karan izin ALLAH
semata. ALLAH SWT yang selalu didekat kita memberikan petunjuk, bimbingan dan
ridlo sehingga kita bisa memperoleh rezeqiNYA dalam jumlah yang banyak.
Tanpa
itu semua, niscaya rezeqi tersebut tidak akan sampai di tangan kita. Jadi,
ke-qurban-an kita kepada ALLAH itu pulalah yang menyebabkan kita memiliki
harta-harta tersebut. Oleh karena itu, dengan ikhlas kita juga membagikan harta
itu kepada para mustahiq.
(b)
Haji
Ibadah
haji adalah wujud dari ke-Qurban-an kita kepada ALLAH. Kedekatan kita kepada
ALLAH kita wujudkan dengan meninggalkan semua yang kita miliki di dunia. Apapun
pangkat, derajat, posisi kita di dunia, kita harus tanggalkan. Kita berhaji
dengan pakaian yang sama, yaitu hanya dengan menggunakan dua helai kain yang
tidak berjahit.
Kain-kain
ini tidak berjahit dan tidak berdesain. Kalau kita selama ini berpakaian safari
misalnya, maka dalam ibadah haji, pakaian safari itu kita tinggalkan. Kalau
dalam kehidupan sehari-hari kita menggunakan pakaian yang ber”merek” ternama,
maka dalam ibadah haji, merek itu tidak laku sama sekali.
Kalau
dalam kehidupan sehari-hari kita dipuji karena gelar Doktor, Profesor, atau
Jenderal sekalipun, dalam ibadah haji kita harus ikhlas diperlakukan sama
dengan mereka-mereka yang dalam kehidupan sehari-harinya menjadi murid, atau
bahkan pembantu kita.
MASYAALLAH
Manifestasi
Qurban Secara Praktis
Kesadaran
akan manifestasi Qurban kepada ALLAH untuk hal-hal di atas, barangkali sudah cukup
baik. Tetapi, akan lebih baik lagi kalau manifestasi tersebut kita wujudkan
dalam konteks kekinian kita. Manifestasi Qurban kepada ALLAH itu perlu kita
wujudkan lebih jauh lagi dalam praktis keseharian.
Terkait
dengan hal ini, penulis mencoba mengklasifikasikan manifestasi Qurban kepada
ALLAH tersebut ke dalam dua hal, yaitu:
(1)
manifestasi dalam bidang material, dan
(2)
manifestasi dalam bidan immaterial.
Manifestasi
dalam bidang material, erat kaitannya dengan pelaksanaan zakat, infaq, shadaqah,
dan mungkin pula ibadah korban yang berupa penyembelihan kambing, sabi, kerbau,
onta dll. Sementara itu, manifestasi dalam bidang immaterial, erat kaitannya
dengan sisi pemikiran dan prinsip-prinsip kehidupan.
(a)
Manifestasi
dalam bidang Material,
Zakat,
Infaq, dan Shadaqah adalah wujud kepedulian sosial dalam agama Islam. Dengan
mengeluarkan zakat, infaq, dan shadaqah, ummat islam bisa berbagi kebahagiaan
yang diterimanya dengan ummat islam lainnya.
Kelebihan
rezeqi yang dinikmati oleh seorang ummat manusia bisa diserahkan dan
diterimakan kepada manusia lain yang membutuhkan.
Terkait
dengan itu, dalam rangka manifestasi qurban kepada ALLAH, di dalam kehidupan
ini tampaknya kita perlu membantu Badan Amal Zakat Infaq dan Shadaqah (BAZIS) agar
lebih giat mengumpulkan dan mengelola zakat, infaq, dan shadaqah sehingga lebih
memberikan manfaat kepada seluruh ummat islam yang memerlukan. Mungkin kita
secara proaktif menyerahkan zakat, infaq, dan shadaqah kita secara langsung
kepada BAZIS, tidak dibagikan sendiri-sendiri.
Kita
juga perlu mendorong BAZIS agar lebih intensif mengidentifikasi calon muzaqqi,
mendorong muzaqqi menyerahkan zakat, infaq, dan shadaqahnya kepada BAZIS, dan
mengelolanya secara amanah, shiddiq, dan fathonah.
Kita
perlu membantu BAZIS agar memiliki PETA orang-orang yang berhak mendapatkan
zakat, infaq, dan shadaqah.
Kita
juga perlu membantu BAZIS agar senantiasa tersedia peta yang valid dan kontinyu
dan mengkomunikasikannya dengan baik.
Di
samping itu, kita perlu membantu BAZIS (bersama dengan para muzaqqi, dan para
pemimpin yang lain) memiliki program-program yang lebih baik yang bisa mengubah
mustahiq menjadi muzaqqi, sehingga keberadaan mustahiq ini dari waktu ke waktu
menjadi berkurang, dan ummat Islam menjadi ummat yang makmur, baik, dan
diampuni ALLAH.
Di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tampaknya kita juga harus proaktif
untuk menunaikan kewajiban membayar PAJAK. Sebagai warga negara yang mengakui
berada dalam naungan Republik Indonesia, kita harus lebih jujur dan aktif
menunaikan kewajiban membayar pajak.
Namun
demikian, mungkin kita juga perlu berpartisipasi aktif untuk ikut serta
mengawal pelaksanaan pembangunan sehingga pembangunan yang berlangsung bisa
lebih optimal dilaksanakan.
(b)
Manifestasi
dalam bidang Immaterial
Terkait
dengan pelaksanaan ibadah Haji, sebenarnya, pakaian adalah segala sesuatu yang
kita gunakan untuk memperlihatkan kedudukan kita. Dengan kata lain, pakaian
dalam hal ini sebenarnya juga merupakan satu ibarat.
Gelar
yang kita miliki, juga bisa disebut sebagai pakaian. Karena itu, tidak jarang
kita mendengar istilah atau pernyataan dari seseorang “Gelar yang DISANDANG
apa?”… Kata sandang adalah cocok untuk pakaian.
Karena
itu, manifestasi Qurban kita kepada ALLAH lebih jauh salah satunya adalah tidak
membesar-besarkannya gelar kita.
Kita
tidak boleh terlalu bangga kalau pun kita sudah menyandang gelar Profesor
Doktor. Kita juga tidak boleh terlalu bangga kalau kita sudah disebut Guru,
Kepala Sekolah, Pengawas, Kepala Dinas, Bupati/Walikota, atau bahkan Gubernur
dan Presiden sekalipun. Kita tidak boleh terlalu bangga kendatipun kita disebut
sebagai Dermawan, Kyai, dan lain sebagainya. Semua hanya pakaian yang
adakalanya kotor, lapuk atau bahkan robek dan rusak.
Lebih
jauh kita ingin tinjau manifestasinya dalam dunia pendidikan
Manifestasi dalam Profesi Guru
Manifestasi
Qurban kepada ALLAH ketika kita berprofesi sebagai guru, misalnya, adalah kita
tidak boleh menempatkan diri sebagai orang yang paling pintar di kelas kita.
Kita tidak boleh menganggap siswa kita hanya sebagai obyek. Kita tidak boleh
menganggap mereka tidak berpotensi, dan kitalah yang menentukan keberhasilan
mereka. Ingat, siswa-siswa kita itu adalah ciptaan ALLAH. Kalau kita menghina
siswa kita, apakah itu tidak berarti bahwa kita juga menghina penciptanya, yaitu
ALLAH.
Sebagai
guru yang Qurban kepada ALLAH, kita harus menjadikan Al Qur’an sebagai
pembimbing kita dalam mendidik siswa-siswa kita. Kenapa? Karena Qur’an adalah
petunjuk yang diberikan kepada kita. Kalau kita memang merasa Qurban kepada
ALLAH, tentu petunjukNYA itu kita pahami dan laksanakan.
Kalau
di dalam Al Qur’an kita sering ditantang oleh ALLAH dengan tuntunan yang
diakhiri dengan tantangan “Afala Tubshiruun”, yang artinya
mengapa kalian tidak memperhatikan, maka sebenarnya dalam mendidik, kita juga
harus mendorong anak kita untuk menjadi pemerhati yang baik. Ajaklah siswa kita
untuk menjadi pengamat. Lakukan banyak kegiatan pengamatan.
Kalau
di dalam Al Qur’an kita sering membaca tantangan ALLAH yang berbunyi “Afalaa
Tatafakkaruun” yang artinya Mengapa kalian tidak memikirkan, maka
sebagai guru kita juga harus mendidik siswa kita menjadi pemikir yang baik.
Kalau
di dalam Al Qur’an kita sering membaca tantangan ALLAH yang berbunyi “Afalaa
Ta’qiluun”, yang artinya mengapa kalian tidak menggunakan akal, maka
sebagai guru kita juga harus mendidik siswa kita menjadi anak yang pandai
menggunakan akal, kata lainnya kita harus mendidik siswa kita menjadi orang
yang kreatif, karena orang kreatif itulah yang biasanya pandai menggunakan
akal.
Afala
Tubshiruun, tatafakkaruun, dan ta’qiluun ini pada dasarnya adalah esensi dari
Pendekatan Saintifik. Mengingat saat ini, pendekatan saintifik merupakan esensi
dari Kurikulum 2013, tampaknya guru-guru Islam perlu lebih berani
mendeklarasikan diri sebagai pendukung utama terlaksananya pendekatan saintifik
dalam pembelajaran di kelas.
Manifestasi dalam profesi Pemimpin Pendidikan
Melalui
Ied al Qurban, Pemimpin yang Qurban kepada ALLAH harus berani menanggalkan
jabatan, kedudukan, dan derajat mereka dalam kehidupan sehari-hari ketika
memimpin. Mereka harus mengutamakan kedekatan mereka kepada ALLAH daripada
jabatan, kedudukan, dan derajat mereka di mata anak buahnya. Semua tindak
kepemimpinan yang dilakukan harus dijalankan sesuai dengan apa yang dikehendaki
ALLAH.
Di
dalam surat At Taubah, dua ayat terakhir, dikemukakan beberapa prinsip pemimpin
yang baik. Prinsip kepemimpinan Nabi Muhammad disampaikan untuk kita tiru dalam
kehidupan organisasi kita. Tiga prinsip utama dalam memimpin ini adalah sebagai
berikut:
1.
Aziizun
alaihi maa anittum
2.
Harishun
‘alaikum
3.
Rouuf ur
rohiim
Aziizun alaihi maa anittum
menunjukkan bahwa Rasul Muhammad SAW itu memiliki perasaan bahwa beban yang
dipikul oleh ummatnya itu sangat berat. Beliau merasakan bahwa ummatnya banyak
mengalami kesusahan.
Nah
kalau kita merasa Qurban kepada ALLAH dan tertarik untuk memanifestasikan
Qurban kepada ALLAH itu dalam kehidupan kepemimpinan, maka kita harus menata
diri (pikiran dan perasaan kita) bahwa anak buah kita itu pada prinsipnya
mengalami kesulitan. Ketika pemimpinnya berganti dan gaya kepemimpinannya
berganti, ingatlah bahwa orang yang kita pimpin itu banyak mengalami kesusahan.
Kita harus menyadari hal ini.
Karena
itu, ketika kita mengambil suatu kebijakan misalnya, maka kita harus memikirkan
dampaknya bagi orang-orang yang sudah kesusahan itu. Siapa yang diuntungkan
oleh kebijakan ini, dan siapa pula yang dirugikan. Selanjutnya, mintalah kepada
ALLAH untuk memberikan kita petunjuk kebijakan mana yang harus diambil.
Harishun ‘alaikum menunjukkan bahwa
Rasulullah Muhammad SAW itu memiliki keinginan agar semua anak buahnya sukses.
Mengikuti prinsip ini, kita tidak boleh berprinsip bahwa yang penting adalah
saya terpromosikan. Yang paling penting adalah bagaimana agar anak buah kita
berhasil mencapai level tertinggi mereka. Mereka yang harus kita bantu untuk
mengembangkan potensinya.
Rouuf ur rohiim menunjukkan bahwa
Rasulullah Muhammad SAW senantiasa mengedepankan pendekatan kasih sayang. Artinya, pendekatan atasan bawahan (top down
approach) hendaknya jangan dijadikan dasar dalam setiap pengambilan kebijakan
kita. Pemimpin hendaknya tidak meminta anak buahnya menyembah dan
meminta-minta. Sebelum mereka mengeluh atau bahkan meminta, seorang pemimpin
hendaknya sudah mengetahui kebutuhan anak buahnya dan memfasilitasinya, tentu
dengan cara-cara yang diridloi ALLAH SWT.
Terakhir,
di penghujung ayat ini dikemukakan pula bahwa tiga hal itu adalah ikhtiar yang
harus kita lakukan.
Kalau
kita sudah berusaha, tetapi mereka tetap berpaling, maka berlakulah prinsip keempat
yaitu “faintawallau faqul hasbiyallah dst”, kita cukup bertawakkal kepada
ALLAH.
Sehubungan
dengan itu, mari kita jalankan model kepemimpinan yang menerapkan
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.
Selalu
empathy kepada bawahan.
2.
Selalu
mengupayakan kesuksesan bawahan
3.
Selalu
menggunakan pendekatan kasih sayang
Kalau ternyata dengan semua prinsip tersebut anak buah kita belum
juga menerapkan apa yang kita inginkan, dan kita telah melakukannya
berkali-kali dan dengan sepenuh hati, maka serahkan semua kepada ALLAH.
Bertawakkallah. Semoga ALLAH memberikan hasil yang lebih baik.
KALAM
AKHIR
Ada
satu hal lagi yang barangkali sering kurang kita perhatikan.
Ketika
Nabi Ibrahim a.s. mendapatkan perintah untuk menyembelih anaknya, beliau tidak
dengan serta merta menyembelihnya. Beliau melakukannya dengan mengadakan
pertanyaan:
Wahai Anakku …
aku mendapatkan perintah melalui mimpi untuk menyembelih kamu. Bagaimanakah
pendapatmu?
Pertanyaan
ini dijawab dengan mantap oleh Nabi Ismail a.s.
Wahai Ayahku…
laksanakan apa yang diperintahkan. InsyaALLAH engkau akan menemukan aku sebagai
orang yang sabar.
Apa
maknanya bagi kita:
Satu
hal yang pasti, bahwa beliau tidak berlaku otoriter. Beliau memperlakukan
putranya sebagai orang yang memiliki akal, pikiran, perasaan, dan semua
perangkat manusia secara utuh. Beliau
meminta pertimbangan anaknya. Beliau ingin mendengar pendapat anaknya.
Mungkin
kalau kita juga menerapkan hal yang sama, InsyaALLAH dunia ini akan aman. Kita
tidak memaksakan kehendak kita kepada orang lain, bahkan kepada anak kita
sendiri. Kita selalu menghargai perasaan orang lain. Kita menganggap orang lain
memiliki pandangan hidup yang perlu kita hargai.
Sungguh
besar pelajaran yang kita petik.
Semoga
ALLAH SWT senantiasa memberikan petunjukNYA kepada kita, senantiasa membimbing
kita untuk berjuang di jalanNYA, dan menjadikan kita sebagai manusia yang
diridloiNYA dan bermanfaat bagi dunia kita. Semoga tulisan sederhana ini bisa
memberikan manfaat bagi kita semua, dan manakala ada yang kurang tepat, sebagai
manusia yang lemah, ijinkan saya meminta maaf yang sebesar-besanya.
Wassalamu’alaikum
Warahmatullahi Wabarakatuh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar